Salju
itu kian turun. Salju itu kembali turun, menghiasi langit penuh najam. Salju
itu turun kawan, hanya setahun sekali. Ya benar, satu tahun sekali dalam malam
yang sepi ini. Sepi dalam lelapnya malam mereka. Saat aku terbangun ditengah
dentuman malam, malam yang penuh salju itu kembali datang. Entah mengapa, aku
saja yang dapat melihatnya. Salju itu menutupi pemukiman warga dengan warna
putih bersihnya. Sedangkan mereka hanya berkata “Tidak, tidak mungkin ada salju
di negeri mentari”. Mereka hanya mengira semalam telah hujan. Akan tetapi, air
itu bukan air hujan. Air itu merupakan lelehan dari kristal salju ajaib itu.
Mereka tak melihat
indahnya salju itu, karena mentari memusnahkanya di waktu pagi. Salju itu mencair, memberikan kehidupan yang
sesungguhnya di bumi ini. Air dari salju kehidupann itu mengalir, membasahi
rumput, rumah warga, yang akan memberikan kehidupan yang mereka inginkan bagi
yang menyentuhnya.
Salju
itu kembali turun di malam ini, malam kelahiranku.
***
Malam
itu malam salju. Malam-malam yang hening dengan tingkah laku hewan malam.
Ditengah gending malam yang syahdu. Merdu merayu. Hasna muncul dari benteng
pelindung. Benteng pelindung dari kemaksiatan. Selendang penghablur dosa dan
maksiat. Dia keluar, dengan polesan cantik menawan.
Dibalik
itu, salju turun. Salju yang kuimpikan dalam hidupku. Malam maupun siang, salju
itu siap turun. Memberkahi apa saja yang ada di bumi. Setiap salju itu turun lalu
mencair membasahi bumi, air itu akan memberi arti kehidupan sesungguhnya di
bumi. Aku ingin menjadi Hasna, menjadi orang mulia, menjadi orang suci yang
berhak menurunkan salju. Persembahan dan tarian suci dipersembahkan untuk
menurunkan keberkahan di bumi.
Aku ingin menjadi
mereka. Aku ingin menjadi Hasna. Aku ingin, sungguh ingin membahagiakan orang-orang.
Dengan salju keberkahan itu, orang-orang yang hidup di bumi Pekalongan ini akan
menjadi senang dan tenang melawan jahatnya dunia peradaban dan gemerlapnya
zaman. Akan tetapi, mereka tak menanggapiku. Mereka menanggapinya dengan
dingin. Mereka membelakangiku soal ini. Aku ingin menjadi mereka sungguh ingin.
***
Kau hari-hari ini hanya
terpaku diam. Hari-hari ini kau sering terpaku diam di teras rumah. Senyap
dibuatnya, dedaunan dan angin mendengarkan dengan khusu’ apa yang diucapakan
Rani kepadanya. “Kau ingin tahu? Salju itu akan turun kembali malam ini. Tenang
saja, setelah malam ini semua akan baik-baik saja. Karena salju itu turun untuk
memberi kebahagian” itulah perkataanmu. “Salju? Salju di negeri mentari ini?
Tidak, tidak mungkin ada salju anakku, ini dinegeri mentari tak kan pernah ada
salju turun disini”
Lalu kau berkata “Salju
itu tak terlihat, hanya aku yang melihatnya. Salju itu benar-benar turun ibu,
salju itu benar-benar turun” lalu aku tersenyum menghadapi tingkah laku
kekanak-kanakanmu. Lalu kau berkata “Ibu, apakah aku bisa menjadi seperti
Hasna? Menjadi orang suci pemanggil salju itu agar turun ke bumi?” lalu aku
paham akan maksud perkataanmu.
“Ya, kau bisa menjadi
bidadari pemanggil salju, kau bisa menjadi orang suci untuk memanggil salju
itu. Kau sempurna anakku, kau sangat layak untuk menjadi bidadari pemanggil
salju “ Akan tetapi, tersimpan nestapa dalam hati ini. Walaupun kau ingin
menjadi bidadari sintren yang kau maksud, mereka akan menolakmu karena keadaan
daksa dan sukmamu berbeda dengan yang lain. Kau mempunyai keistimewaan. Kau
memiliki kelebihan dari yang lain dan ada yang kurangan dari lain.
Tuhan, berikanlah anak
hamba kesembuhan akan penyakitnya. Tuhan, kabulkanlah semua doanya. Hanya
kepada-Mu lah kami berdoa dan mengharapkan panduan-Mu. Amin.
Doaku yang setiap malam kulantunkan demi kau Rani.
***
Entah mengapa, salju
itu tak kembali turun pada malam ini. Salju itu tak kembali turun untuk
memberikan kehidupan sesungguhnya dibumi.
Malam-malam penuh salju itu seakan musnah dan tiada. Malam penuh
keajaiban yang hanya disaksikan Tuhan, aku, malam, dan hewan-hewan malam itu
lenyap. Hanya aku yang kebingungan, mencari salju itu pergi.
Apabila salju itu
pergi, maka lenyaplah kebahagiaan dibumi. Salju itu pasti marah karena Hasna
pergi meninggalkan janabijana1 yang tercinta ini. Setelah
Hasna pergi, tak ada lagi kebahagiaan disini. Salju tak kemabali turun. Salju
tak kembali turun di langit ini, walaupun itu malam ulang tahunku.
Mengapa kau tak kembali
salju?
Mengapa
kau tak kembali datang menjadi lentera bagi hidupku
Mengapa
kau tak turun
Menghiasi
malam
Yang
temaram
Dengan
hamburan najam2
Apakah
engkau marah?
Karena
kita tak mempercayaimu
Semua
itu semu
Wahai
salju !
Mereka
tak paham wahai salju !
Mereka
tak mau lagi menganggapmu
Lambat
laun
Mereka
meninggalkan
Arti
dan asal muasal kehidupan
Meninggalkan
kesedihan, kemelaratan,
Dan
kepedihan hidup.
***
“Ibu aku ingin menjadi
pemangil salju! Aku ingin menjadi bidadari pemanggil salju! Aku ingin tampil
malam ini, malam ini!” titahmu.
“Tapi, kau kan..”
“Aku tidak mahu tahu,
aku tak mau tahu”
“Tapi kenapa?”
“Setelah Hasna pergi,
salju tak pernah turun. Mereka tak mau lagi menurunkan salju. Mereka takut
dihina karena itu semua. Walaupun mereka ingin menghinaku, maka tak apa-apa.
Aku akan tetap memanggil bidadari”
Setelah itu aku dibawa
ke Nyai Saraswati, untuk menjalani ritual perubahan menjadi seorang bidadari.
“Apakah kau tak takut akan dihina teman-temanmu?” kata Nyi Saraswati.
Lalu aku jawab dengan
tegas “Aku tetap akan memanggil salju!”. Lalu Nyai Saraswati menggeleng-geleng
dan tersenyum.
“Kalau kau telah
mantap, kau harus berpuasa selama satu hari dan menjaga kesucianmu” kata Nyai Saraswati.
“Ya akan aku patuhi
syarat itu”
***
Sang bagaskara mulai
muncul dari peraduan. Bagaskara mulai menyinari langit yang hampa. Namun,
kata-kata hinaan yang diperkirakan Nyai Saraswati datang terlalu cepat sebelum
kami siap.
“Kau ingin tahu? Anak
penerus Hasna itu adalah seorang yang memiliki kelainan pikiran! Anak itu
temperamental! Anak itu hanya bisa berbicara kepada daun, angin, hewan dan
lainnya,” bisik-bisik itu mulai terdengar sampai ke telinga
anakku sendiri, Rani.
“Ibu, benarkah kata
mereka?”
“Tidak, sungguh tidak
benar”
Namun, hati kecil Rani
terguncang. Terjadi guncangan hebat dalam hati dan pikiranya. Apabila aku
menghentikan langkahnya, maka hati dan pikiran Rani akan semakin terguncang.
Aku hanya mengikuti Rani, tetap akan menjalankan ritual atau tidak. Aku tahu,
Rani sedang diguncang oleh pilihan yang sulit dipecahkan olehnya. Bahkan orang
normalpun belum bisa memecahkanya.
Tak terasa air mata
Rani meleleh, menghadapi pilihan yang sulit ini. “Untuk apa aku korbankan
martabat keluargaku untuk menjadi bidadari pemanggil bidadari? Padahal mereka
yang paling membutuhkannya malah meninggalkanya” kata Rani lirih di sela isak
tangisnya. “Tidak apa-apa, ibu tak malu mempunyai anak sepertimu. Ibu tak malu”
Seketika Rani terdiam.
Menemani bagaskara menyampai puncak tertinggi.
***
Malam pemanggilan
saljupun tiba. Aku tidak bisa berkata-kata. Malam ini adalah penentuan dan
akhir dari martabat tertinggi keluargaku.”. Genderang dan tembang-tembang
dilantunkan. Pedupaan mulai dinyalakan. Bunga tujuh rupa mulai dipersembahkan.
Upacara pemanggilan salju ini siap dilaksanakan. Sedangkan aku masih ragu-ragu
untuk menentukan pilihan. Detik demi detik menjelang upacara pemanggilan
semakin mendekat. Kini hanya waktu yang menentukan. Tiba-tiba genderang musik
pengawal dibunyikan.
Tambak tambak pawon
Isine dandang kukusan
Ari-ari kebul
Wong nontone pada
kumpul
Tiba-tiba aku dituntun
untuk ke panggung pemanggilan salju. Gendering terus dimainkan, asap-asap
pedupaan telah mengepul dipanggung dan halaman, aku melangkah dan terus
melangkah, hujan bunga menjatuhiku. Detikku telah sampai, dua pilihan antara
martabat dan penyalamatan saljupun telah pudar.
Tuhan, tolonglah
hamba-Mu dalam keadaan sempit seperti ini. Jeritku lirih.
***
Kau adalah wanita
pilihanku. Kau tak seperti Hasna, kau tak seperti yang lain yang hanya
mengincar harta dan kekuasaan. Tak ada gadis yang tulus sepertimu. Sekarang kau
hanya menjalankan upacara ini. Kau hanya bisa percaya padaku. Mungkin aku juga
salah mengijinkanmu untuk mengikuti ini. Akan tetapi hatimu tulus, suci dan
bersih. Sekarang kau diikat, pasrah akan keadaan. Aku tahu, dibalik itu hatimu
menangis akan pilihanmu itu. Gending dibunyikan upacarapun dimulai
Kembang trate
Dituku sebrang kana
Kartni dirante
Kang rante mang rana
***
Saat
kau dimasukkan dalam benteng pelepas jiwa, hati ibumu ini terasa hampa.
Sekarang jiwa anakku akan hilang. Walaupun sebentar, tapi itu sangat berarti.
Gending kembali bernyanyi. Mantra-mantra dirapalkan. Bunga-bunga ditaburkan
pada bentengmu itu. Pedupaan kembali dinyalakan. Seketika para sinden
kesurupan. Lantas hanya ada pada Nyai Saraswati kunci mulai dari upacara
bidadari ini. Tiba-tiba, dengan bunga ditangan dan pedupaan, tembang mantra
kembali dirapalkan.
Gulung-gulug
kasa
Ana
sintren tasih turu
Wong
nontone buru-buru
Ana
sintren tasih baru .
Lalu, para sinden menyambung dengan
tembangnya
Turun-turun
sintren, sintrene widadari
Nemu
kembang yun-ayunan
Nemu
kembang yun-ayunan
Kembang
si jaya indra
Widodari
temurunan
Kang
manjing ning awak ira
Turun-turun
sintren, sintrene widadari
Nemu
kembang yun-ayunan
Nemu
kembang yun-ayunan
Kembang
si jaya indra
Widodari
temurunan
Seketika salju itu
sedikit demi sedikit turun. Salju itu kembali mengguyur perkampungan. Dan salju
itu juga turun dan masuk dalam benteng Rani. Benteng berdetak kencang. Rani
keluar dengan cantik menawan. Salju sebagai penjelmaan Dewi Sulasih merasuki
Rani. Sedangkan salju yang lain adalah penjelmaan malaikat dan bidadari untuk
memberikan kebaikan di bumi.
Kau menari dan terus
menari. Kau kini menjadi seorang sintren yang sempurna. kau dengan gemulai
tarianmu menyambut salju dan sang kirana menyambangi kami.[*]
Pekalongan, 26-27 Mei 2015 M.
1
Janabijana : Tanah Kelahiran
2
Najam : Bintang