Kamis, 06 Agustus 2015

Bidadari Pemanggil Salju Karya M. Addi Syirfan


            Salju itu kian turun. Salju itu kembali turun, menghiasi langit penuh najam. Salju itu turun kawan, hanya setahun sekali. Ya benar, satu tahun sekali dalam malam yang sepi ini. Sepi dalam lelapnya malam mereka. Saat aku terbangun ditengah dentuman malam, malam yang penuh salju itu kembali datang. Entah mengapa, aku saja yang dapat melihatnya. Salju itu menutupi pemukiman warga dengan warna putih bersihnya. Sedangkan mereka hanya berkata “Tidak, tidak mungkin ada salju di negeri mentari”. Mereka hanya mengira semalam telah hujan. Akan tetapi, air itu bukan air hujan. Air itu merupakan lelehan dari kristal salju ajaib itu.
Mereka tak melihat indahnya salju itu, karena mentari memusnahkanya di waktu pagi.  Salju itu mencair, memberikan kehidupan yang sesungguhnya di bumi ini. Air dari salju kehidupann itu mengalir, membasahi rumput, rumah warga, yang akan memberikan kehidupan yang mereka inginkan bagi yang menyentuhnya. 
            Salju itu kembali turun di malam ini, malam kelahiranku.
***
            Malam itu malam salju. Malam-malam yang hening dengan tingkah laku hewan malam. Ditengah gending malam yang syahdu. Merdu merayu. Hasna muncul dari benteng pelindung. Benteng pelindung dari kemaksiatan. Selendang penghablur dosa dan maksiat. Dia keluar, dengan polesan cantik menawan.
            Dibalik itu, salju turun. Salju yang kuimpikan dalam hidupku. Malam maupun siang, salju itu siap turun. Memberkahi apa saja yang ada di bumi. Setiap salju itu turun lalu mencair membasahi bumi, air itu akan memberi arti kehidupan sesungguhnya di bumi. Aku ingin menjadi Hasna, menjadi orang mulia, menjadi orang suci yang berhak menurunkan salju. Persembahan dan tarian suci dipersembahkan untuk menurunkan keberkahan di bumi.
Aku ingin menjadi mereka. Aku ingin menjadi Hasna. Aku ingin, sungguh ingin membahagiakan orang-orang. Dengan salju keberkahan itu, orang-orang yang hidup di bumi Pekalongan ini akan menjadi senang dan tenang melawan jahatnya dunia peradaban dan gemerlapnya zaman. Akan tetapi, mereka tak menanggapiku. Mereka menanggapinya dengan dingin. Mereka membelakangiku soal ini. Aku ingin menjadi mereka sungguh ingin.
***
Kau hari-hari ini hanya terpaku diam. Hari-hari ini kau sering terpaku diam di teras rumah. Senyap dibuatnya, dedaunan dan angin mendengarkan dengan khusu’ apa yang diucapakan Rani kepadanya. “Kau ingin tahu? Salju itu akan turun kembali malam ini. Tenang saja, setelah malam ini semua akan baik-baik saja. Karena salju itu turun untuk memberi kebahagian” itulah perkataanmu. “Salju? Salju di negeri mentari ini? Tidak, tidak mungkin ada salju anakku, ini dinegeri mentari tak kan pernah ada salju turun disini”
Lalu kau berkata “Salju itu tak terlihat, hanya aku yang melihatnya. Salju itu benar-benar turun ibu, salju itu benar-benar turun” lalu aku tersenyum menghadapi tingkah laku kekanak-kanakanmu. Lalu kau berkata “Ibu, apakah aku bisa menjadi seperti Hasna? Menjadi orang suci pemanggil salju itu agar turun ke bumi?” lalu aku paham akan maksud perkataanmu.
“Ya, kau bisa menjadi bidadari pemanggil salju, kau bisa menjadi orang suci untuk memanggil salju itu. Kau sempurna anakku, kau sangat layak untuk menjadi bidadari pemanggil salju “ Akan tetapi, tersimpan nestapa dalam hati ini. Walaupun kau ingin menjadi bidadari sintren yang kau maksud, mereka akan menolakmu karena keadaan daksa dan sukmamu berbeda dengan yang lain. Kau mempunyai keistimewaan. Kau memiliki kelebihan dari yang lain dan ada yang kurangan dari lain.            
Tuhan, berikanlah anak hamba kesembuhan akan penyakitnya. Tuhan, kabulkanlah semua doanya. Hanya kepada-Mu lah kami berdoa dan mengharapkan panduan-Mu. Amin. Doaku yang setiap malam kulantunkan demi kau Rani.
***
Entah mengapa, salju itu tak kembali turun pada malam ini. Salju itu tak kembali turun untuk memberikan kehidupan sesungguhnya dibumi.  Malam-malam penuh salju itu seakan musnah dan tiada. Malam penuh keajaiban yang hanya disaksikan Tuhan, aku, malam, dan hewan-hewan malam itu lenyap. Hanya aku yang kebingungan, mencari salju itu pergi.
Apabila salju itu pergi, maka lenyaplah kebahagiaan dibumi. Salju itu pasti marah karena Hasna pergi meninggalkan janabijana1 yang tercinta ini. Setelah Hasna pergi, tak ada lagi kebahagiaan disini. Salju tak kemabali turun. Salju tak kembali turun di langit ini, walaupun itu malam ulang tahunku.

Mengapa kau tak kembali salju?
            Mengapa kau tak kembali datang menjadi lentera bagi hidupku
            Mengapa kau tak turun
            Menghiasi malam
            Yang temaram
            Dengan hamburan najam2
                                    Apakah engkau marah?
                                    Karena kita tak mempercayaimu
                                    Semua itu semu
                                    Wahai salju !
                                    Mereka tak paham wahai salju !
                                    Mereka tak mau lagi menganggapmu
            Lambat laun
            Mereka meninggalkan
            Arti dan asal muasal kehidupan
            Meninggalkan kesedihan, kemelaratan,
            Dan kepedihan hidup.

***
“Ibu aku ingin menjadi pemangil salju! Aku ingin menjadi bidadari pemanggil salju! Aku ingin tampil malam ini, malam ini!” titahmu.
“Tapi, kau kan..”
“Aku tidak mahu tahu, aku tak mau tahu”
“Tapi kenapa?”
“Setelah Hasna pergi, salju tak pernah turun. Mereka tak mau lagi menurunkan salju. Mereka takut dihina karena itu semua. Walaupun mereka ingin menghinaku, maka tak apa-apa. Aku akan tetap memanggil bidadari”
Setelah itu aku dibawa ke Nyai Saraswati, untuk menjalani ritual perubahan menjadi seorang bidadari. “Apakah kau tak takut akan dihina teman-temanmu?” kata Nyi Saraswati.
Lalu aku jawab dengan tegas “Aku tetap akan memanggil salju!”. Lalu Nyai Saraswati menggeleng-geleng dan tersenyum.
“Kalau kau telah mantap, kau harus berpuasa selama satu hari dan menjaga  kesucianmu” kata Nyai Saraswati.
“Ya akan aku patuhi syarat itu”
***
Sang bagaskara mulai muncul dari peraduan. Bagaskara mulai menyinari langit yang hampa. Namun, kata-kata hinaan yang diperkirakan Nyai Saraswati datang terlalu cepat sebelum kami siap.
“Kau ingin tahu? Anak penerus Hasna itu adalah seorang yang memiliki kelainan pikiran! Anak itu temperamental! Anak itu hanya bisa berbicara kepada daun, angin, hewan dan lainnya,” bisik-bisik itu mulai terdengar sampai ke telinga anakku sendiri, Rani.
“Ibu, benarkah kata mereka?”
“Tidak, sungguh tidak benar”
Namun, hati kecil Rani terguncang. Terjadi guncangan hebat dalam hati dan pikiranya. Apabila aku menghentikan langkahnya, maka hati dan pikiran Rani akan semakin terguncang. Aku hanya mengikuti Rani, tetap akan menjalankan ritual atau tidak. Aku tahu, Rani sedang diguncang oleh pilihan yang sulit dipecahkan olehnya. Bahkan orang normalpun belum bisa memecahkanya.
Tak terasa air mata Rani meleleh, menghadapi pilihan yang sulit ini. “Untuk apa aku korbankan martabat keluargaku untuk menjadi bidadari pemanggil bidadari? Padahal mereka yang paling membutuhkannya malah meninggalkanya” kata Rani lirih di sela isak tangisnya. “Tidak apa-apa, ibu tak malu mempunyai anak sepertimu. Ibu tak malu”
Seketika Rani terdiam. Menemani bagaskara menyampai puncak tertinggi.
***
Malam pemanggilan saljupun tiba. Aku tidak bisa berkata-kata. Malam ini adalah penentuan dan akhir dari martabat tertinggi keluargaku.”. Genderang dan tembang-tembang dilantunkan. Pedupaan mulai dinyalakan. Bunga tujuh rupa mulai dipersembahkan. Upacara pemanggilan salju ini siap dilaksanakan. Sedangkan aku masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan. Detik demi detik menjelang upacara pemanggilan semakin mendekat. Kini hanya waktu yang menentukan. Tiba-tiba genderang musik pengawal dibunyikan.
Tambak tambak pawon
Isine dandang kukusan
Ari-ari kebul
Wong nontone pada kumpul
Tiba-tiba aku dituntun untuk ke panggung pemanggilan salju. Gendering terus dimainkan, asap-asap pedupaan telah mengepul dipanggung dan halaman, aku melangkah dan terus melangkah, hujan bunga menjatuhiku. Detikku telah sampai, dua pilihan antara martabat dan penyalamatan saljupun telah pudar.
Tuhan, tolonglah hamba-Mu dalam keadaan sempit seperti ini. Jeritku lirih.
***
Kau adalah wanita pilihanku. Kau tak seperti Hasna, kau tak seperti yang lain yang hanya mengincar harta dan kekuasaan. Tak ada gadis yang tulus sepertimu. Sekarang kau hanya menjalankan upacara ini. Kau hanya bisa percaya padaku. Mungkin aku juga salah mengijinkanmu untuk mengikuti ini. Akan tetapi hatimu tulus, suci dan bersih. Sekarang kau diikat, pasrah akan keadaan. Aku tahu, dibalik itu hatimu menangis akan pilihanmu itu. Gending dibunyikan upacarapun dimulai
Kembang trate
Dituku sebrang kana
Kartni dirante
Kang rante mang rana
***
            Saat kau dimasukkan dalam benteng pelepas jiwa, hati ibumu ini terasa hampa. Sekarang jiwa anakku akan hilang. Walaupun sebentar, tapi itu sangat berarti. Gending kembali bernyanyi. Mantra-mantra dirapalkan. Bunga-bunga ditaburkan pada bentengmu itu. Pedupaan kembali dinyalakan. Seketika para sinden kesurupan. Lantas hanya ada pada Nyai Saraswati kunci mulai dari upacara bidadari ini. Tiba-tiba, dengan bunga ditangan dan pedupaan, tembang mantra kembali dirapalkan.
            Gulung-gulug kasa
            Ana sintren tasih turu
            Wong nontone buru-buru
            Ana sintren tasih baru .
Lalu, para sinden menyambung dengan tembangnya
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan
            Kang manjing ning awak ira
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan

Seketika salju itu sedikit demi sedikit turun. Salju itu kembali mengguyur perkampungan. Dan salju itu juga turun dan masuk dalam benteng Rani. Benteng berdetak kencang. Rani keluar dengan cantik menawan. Salju sebagai penjelmaan Dewi Sulasih merasuki Rani. Sedangkan salju yang lain adalah penjelmaan malaikat dan bidadari untuk memberikan kebaikan di bumi.
Kau menari dan terus menari. Kau kini menjadi seorang sintren yang sempurna. kau dengan gemulai tarianmu menyambut salju dan sang kirana menyambangi kami.[*]

Pekalongan, 26-27 Mei 2015 M.

                1 Janabijana    : Tanah Kelahiran
            2 Najam           :  Bintang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar