Kamis, 06 Agustus 2015

Bidadari Pemanggil Salju Karya M. Addi Syirfan


            Salju itu kian turun. Salju itu kembali turun, menghiasi langit penuh najam. Salju itu turun kawan, hanya setahun sekali. Ya benar, satu tahun sekali dalam malam yang sepi ini. Sepi dalam lelapnya malam mereka. Saat aku terbangun ditengah dentuman malam, malam yang penuh salju itu kembali datang. Entah mengapa, aku saja yang dapat melihatnya. Salju itu menutupi pemukiman warga dengan warna putih bersihnya. Sedangkan mereka hanya berkata “Tidak, tidak mungkin ada salju di negeri mentari”. Mereka hanya mengira semalam telah hujan. Akan tetapi, air itu bukan air hujan. Air itu merupakan lelehan dari kristal salju ajaib itu.
Mereka tak melihat indahnya salju itu, karena mentari memusnahkanya di waktu pagi.  Salju itu mencair, memberikan kehidupan yang sesungguhnya di bumi ini. Air dari salju kehidupann itu mengalir, membasahi rumput, rumah warga, yang akan memberikan kehidupan yang mereka inginkan bagi yang menyentuhnya. 
            Salju itu kembali turun di malam ini, malam kelahiranku.
***
            Malam itu malam salju. Malam-malam yang hening dengan tingkah laku hewan malam. Ditengah gending malam yang syahdu. Merdu merayu. Hasna muncul dari benteng pelindung. Benteng pelindung dari kemaksiatan. Selendang penghablur dosa dan maksiat. Dia keluar, dengan polesan cantik menawan.
            Dibalik itu, salju turun. Salju yang kuimpikan dalam hidupku. Malam maupun siang, salju itu siap turun. Memberkahi apa saja yang ada di bumi. Setiap salju itu turun lalu mencair membasahi bumi, air itu akan memberi arti kehidupan sesungguhnya di bumi. Aku ingin menjadi Hasna, menjadi orang mulia, menjadi orang suci yang berhak menurunkan salju. Persembahan dan tarian suci dipersembahkan untuk menurunkan keberkahan di bumi.
Aku ingin menjadi mereka. Aku ingin menjadi Hasna. Aku ingin, sungguh ingin membahagiakan orang-orang. Dengan salju keberkahan itu, orang-orang yang hidup di bumi Pekalongan ini akan menjadi senang dan tenang melawan jahatnya dunia peradaban dan gemerlapnya zaman. Akan tetapi, mereka tak menanggapiku. Mereka menanggapinya dengan dingin. Mereka membelakangiku soal ini. Aku ingin menjadi mereka sungguh ingin.
***
Kau hari-hari ini hanya terpaku diam. Hari-hari ini kau sering terpaku diam di teras rumah. Senyap dibuatnya, dedaunan dan angin mendengarkan dengan khusu’ apa yang diucapakan Rani kepadanya. “Kau ingin tahu? Salju itu akan turun kembali malam ini. Tenang saja, setelah malam ini semua akan baik-baik saja. Karena salju itu turun untuk memberi kebahagian” itulah perkataanmu. “Salju? Salju di negeri mentari ini? Tidak, tidak mungkin ada salju anakku, ini dinegeri mentari tak kan pernah ada salju turun disini”
Lalu kau berkata “Salju itu tak terlihat, hanya aku yang melihatnya. Salju itu benar-benar turun ibu, salju itu benar-benar turun” lalu aku tersenyum menghadapi tingkah laku kekanak-kanakanmu. Lalu kau berkata “Ibu, apakah aku bisa menjadi seperti Hasna? Menjadi orang suci pemanggil salju itu agar turun ke bumi?” lalu aku paham akan maksud perkataanmu.
“Ya, kau bisa menjadi bidadari pemanggil salju, kau bisa menjadi orang suci untuk memanggil salju itu. Kau sempurna anakku, kau sangat layak untuk menjadi bidadari pemanggil salju “ Akan tetapi, tersimpan nestapa dalam hati ini. Walaupun kau ingin menjadi bidadari sintren yang kau maksud, mereka akan menolakmu karena keadaan daksa dan sukmamu berbeda dengan yang lain. Kau mempunyai keistimewaan. Kau memiliki kelebihan dari yang lain dan ada yang kurangan dari lain.            
Tuhan, berikanlah anak hamba kesembuhan akan penyakitnya. Tuhan, kabulkanlah semua doanya. Hanya kepada-Mu lah kami berdoa dan mengharapkan panduan-Mu. Amin. Doaku yang setiap malam kulantunkan demi kau Rani.
***
Entah mengapa, salju itu tak kembali turun pada malam ini. Salju itu tak kembali turun untuk memberikan kehidupan sesungguhnya dibumi.  Malam-malam penuh salju itu seakan musnah dan tiada. Malam penuh keajaiban yang hanya disaksikan Tuhan, aku, malam, dan hewan-hewan malam itu lenyap. Hanya aku yang kebingungan, mencari salju itu pergi.
Apabila salju itu pergi, maka lenyaplah kebahagiaan dibumi. Salju itu pasti marah karena Hasna pergi meninggalkan janabijana1 yang tercinta ini. Setelah Hasna pergi, tak ada lagi kebahagiaan disini. Salju tak kemabali turun. Salju tak kembali turun di langit ini, walaupun itu malam ulang tahunku.

Mengapa kau tak kembali salju?
            Mengapa kau tak kembali datang menjadi lentera bagi hidupku
            Mengapa kau tak turun
            Menghiasi malam
            Yang temaram
            Dengan hamburan najam2
                                    Apakah engkau marah?
                                    Karena kita tak mempercayaimu
                                    Semua itu semu
                                    Wahai salju !
                                    Mereka tak paham wahai salju !
                                    Mereka tak mau lagi menganggapmu
            Lambat laun
            Mereka meninggalkan
            Arti dan asal muasal kehidupan
            Meninggalkan kesedihan, kemelaratan,
            Dan kepedihan hidup.

***
“Ibu aku ingin menjadi pemangil salju! Aku ingin menjadi bidadari pemanggil salju! Aku ingin tampil malam ini, malam ini!” titahmu.
“Tapi, kau kan..”
“Aku tidak mahu tahu, aku tak mau tahu”
“Tapi kenapa?”
“Setelah Hasna pergi, salju tak pernah turun. Mereka tak mau lagi menurunkan salju. Mereka takut dihina karena itu semua. Walaupun mereka ingin menghinaku, maka tak apa-apa. Aku akan tetap memanggil bidadari”
Setelah itu aku dibawa ke Nyai Saraswati, untuk menjalani ritual perubahan menjadi seorang bidadari. “Apakah kau tak takut akan dihina teman-temanmu?” kata Nyi Saraswati.
Lalu aku jawab dengan tegas “Aku tetap akan memanggil salju!”. Lalu Nyai Saraswati menggeleng-geleng dan tersenyum.
“Kalau kau telah mantap, kau harus berpuasa selama satu hari dan menjaga  kesucianmu” kata Nyai Saraswati.
“Ya akan aku patuhi syarat itu”
***
Sang bagaskara mulai muncul dari peraduan. Bagaskara mulai menyinari langit yang hampa. Namun, kata-kata hinaan yang diperkirakan Nyai Saraswati datang terlalu cepat sebelum kami siap.
“Kau ingin tahu? Anak penerus Hasna itu adalah seorang yang memiliki kelainan pikiran! Anak itu temperamental! Anak itu hanya bisa berbicara kepada daun, angin, hewan dan lainnya,” bisik-bisik itu mulai terdengar sampai ke telinga anakku sendiri, Rani.
“Ibu, benarkah kata mereka?”
“Tidak, sungguh tidak benar”
Namun, hati kecil Rani terguncang. Terjadi guncangan hebat dalam hati dan pikiranya. Apabila aku menghentikan langkahnya, maka hati dan pikiran Rani akan semakin terguncang. Aku hanya mengikuti Rani, tetap akan menjalankan ritual atau tidak. Aku tahu, Rani sedang diguncang oleh pilihan yang sulit dipecahkan olehnya. Bahkan orang normalpun belum bisa memecahkanya.
Tak terasa air mata Rani meleleh, menghadapi pilihan yang sulit ini. “Untuk apa aku korbankan martabat keluargaku untuk menjadi bidadari pemanggil bidadari? Padahal mereka yang paling membutuhkannya malah meninggalkanya” kata Rani lirih di sela isak tangisnya. “Tidak apa-apa, ibu tak malu mempunyai anak sepertimu. Ibu tak malu”
Seketika Rani terdiam. Menemani bagaskara menyampai puncak tertinggi.
***
Malam pemanggilan saljupun tiba. Aku tidak bisa berkata-kata. Malam ini adalah penentuan dan akhir dari martabat tertinggi keluargaku.”. Genderang dan tembang-tembang dilantunkan. Pedupaan mulai dinyalakan. Bunga tujuh rupa mulai dipersembahkan. Upacara pemanggilan salju ini siap dilaksanakan. Sedangkan aku masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan. Detik demi detik menjelang upacara pemanggilan semakin mendekat. Kini hanya waktu yang menentukan. Tiba-tiba genderang musik pengawal dibunyikan.
Tambak tambak pawon
Isine dandang kukusan
Ari-ari kebul
Wong nontone pada kumpul
Tiba-tiba aku dituntun untuk ke panggung pemanggilan salju. Gendering terus dimainkan, asap-asap pedupaan telah mengepul dipanggung dan halaman, aku melangkah dan terus melangkah, hujan bunga menjatuhiku. Detikku telah sampai, dua pilihan antara martabat dan penyalamatan saljupun telah pudar.
Tuhan, tolonglah hamba-Mu dalam keadaan sempit seperti ini. Jeritku lirih.
***
Kau adalah wanita pilihanku. Kau tak seperti Hasna, kau tak seperti yang lain yang hanya mengincar harta dan kekuasaan. Tak ada gadis yang tulus sepertimu. Sekarang kau hanya menjalankan upacara ini. Kau hanya bisa percaya padaku. Mungkin aku juga salah mengijinkanmu untuk mengikuti ini. Akan tetapi hatimu tulus, suci dan bersih. Sekarang kau diikat, pasrah akan keadaan. Aku tahu, dibalik itu hatimu menangis akan pilihanmu itu. Gending dibunyikan upacarapun dimulai
Kembang trate
Dituku sebrang kana
Kartni dirante
Kang rante mang rana
***
            Saat kau dimasukkan dalam benteng pelepas jiwa, hati ibumu ini terasa hampa. Sekarang jiwa anakku akan hilang. Walaupun sebentar, tapi itu sangat berarti. Gending kembali bernyanyi. Mantra-mantra dirapalkan. Bunga-bunga ditaburkan pada bentengmu itu. Pedupaan kembali dinyalakan. Seketika para sinden kesurupan. Lantas hanya ada pada Nyai Saraswati kunci mulai dari upacara bidadari ini. Tiba-tiba, dengan bunga ditangan dan pedupaan, tembang mantra kembali dirapalkan.
            Gulung-gulug kasa
            Ana sintren tasih turu
            Wong nontone buru-buru
            Ana sintren tasih baru .
Lalu, para sinden menyambung dengan tembangnya
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan
            Kang manjing ning awak ira
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan

Seketika salju itu sedikit demi sedikit turun. Salju itu kembali mengguyur perkampungan. Dan salju itu juga turun dan masuk dalam benteng Rani. Benteng berdetak kencang. Rani keluar dengan cantik menawan. Salju sebagai penjelmaan Dewi Sulasih merasuki Rani. Sedangkan salju yang lain adalah penjelmaan malaikat dan bidadari untuk memberikan kebaikan di bumi.
Kau menari dan terus menari. Kau kini menjadi seorang sintren yang sempurna. kau dengan gemulai tarianmu menyambut salju dan sang kirana menyambangi kami.[*]

Pekalongan, 26-27 Mei 2015 M.

                1 Janabijana    : Tanah Kelahiran
            2 Najam           :  Bintang


Rabu, 27 Mei 2015

Penerus Karya Negeri Karya M. Addi Syirfan

Angin menyisiri pagi
Cahaya surya memancari bumi
Riuh gemriuh mulai menggema di Banjarsari

            Di awal sampai akhir hari
            Dari ufuk paksina sampai daksina
            Di sinilah kami
            Berdiri sendiri
            Tak ada yang menemani

Diantara hiruk-pikuk Banjarsari
Diawal sambatan mentari
Berdirilah kami
Penjaga warisan negeri

            Warisan negeri yang telah pupus
            Di serbu angin yang menghembus
            Tertinggal diantara zaman
            Tertinggal dengan gemerlapnya dunia peradaban

Dari cacahan nangka muda
Terciptalah bukir sejarah negeri
Semua itu tercipta sepi
Dari lelono
Menjadi majnan, maghnon
Dan terciptalah megono

            Semua itu musnah
            Tertinggal oleh waktu

Semua itu bagaikan lagu
Hanya sebentar kemudian berlalu

            Semua itu kian musnah
            Hari demi hari
            Hanya meninggalkan pilu
            Di hati

Kini megono hampir punah
Kini megono hampir musnah
Kami hanya generasi penerus negeri.

Megono bagaikan mentari
Hanya muncul pergi
Tanpa arti
Bagi manusia tak berhati

Hamburger, pizza, hotdog, kebab, steak, fried chicken
Semua tak berhenti
Menjelajahi negeri

            “Nak inilah megono sebagai jati diri
            Ranah Pekalongan ini
            Nak ingatlah semua ini
            Hanya tercipta dari megono

Kau ingin tahu mengapa
Megono perlu dijaga?

            Megono berdasrakan cacahan nangka muda
            Melambngkan para generasi muda
            Generasi muda yang serba bisa
            Seperti buah nangka

Kau ingin tahu mengapa nangka itu harus dicacah?
Karena generasi muda yang berbudi luhur harus berjumlah banyak
Karena generasi muda
Harus mempunyai budi pekerti luhur yang melimpah

            Kau ingin tahu mengapa cacahan itu dicampur kelapa?
            Karena generasi muda harus
            Tahan akan godaan dan teguh pendirian
            Seperti pohon kelapa

Sejarah ini tak akan terjadi
Tanpa megono ini

            Kau ingin tahu ?
            Seluruh kota ini tak berarti
            Tanpa megono
            Megono merupakan jati diri kita
Megono ini adalah simbol kejayaan Pekalongan
Megono ini merupakan arti dari setiap nafas Pekalongan

Kita  hanya bisa menyimpan nestapa
Menatap  penerus negeri
Kini telah berdiri
Tiada arti.

Catatan Kaki :
  1. Paksina            : Utara
  2. Daksina           : Selatan


Petuah Sang Pengelana Karya M. Addi Syirfan


            Aku masih mengingatmu. Aku masih terus mengenangmu dan terus mendoakanmu. Aku masih teringat masa-masa kebersamaan kita sewaktu kita remaja. Beberapa waktu lalu, kita berjanji untuk mengadakan pengajian akbar di kampung halaman kita.
Hari ini saat kudatangi rumahmu, aku disambut dengan bendera kuning yang tertancap di pagar dan ribuan orang berbaju hitam datang untuk menemuimu. Semua orang yang datang ini adalah orang-orang yang pernah menuai buah dari semua petuah-petuah terpujimu. Mereka yang datang juga orang-orang yang telah kau buatkan rumah-rumah Tuhan.
Kenapa engkau dipanggil oleh Tuhan begitu cepat? Ini sebuah panggilan tetapi bukan panggilan untuk ke tanah suci Mekkah. Akan tetapi untuk menemui-Nya atas izin Tuhan. Semua dapat melihatmu diatas keranda. Kau terbujur damai tertidur disana. Semua orang mengerumunimu sebelum kau dibalut kain kafan suci yang menemanimu di alam kubur saat kau meninggalkan dunia yang fana  ini.
            Hari semakin siang, semakin banyak orang mulai berdatangan untuk menemuimu. Dari menteri, pejabat, DPR, wartawan, ustadz-ustadzah, artis, hingga sanak kerabat dan khalayak umum berdatangan. Saat kau mulai diangkat, ribuan orang ikut mengusungmu menuju rumah Tuhan. Duka yang menyelimuti ribuan orang ini seperti yang aku rasakan. Banyak orang yang berdesakan ingin ikut memakamkanmu. Ketika kiswah keranda dibuka engkau terlihat sangat suci dengan kain kafanmu dan bersiap untuk menemuni Tuhanmu kembali. Orang-orang kembali mengerumunimu. Ada yang ingin menyentuhmu, memfotomu, dan masih banyak lagi yang ingin dilakukan oleh manusia yang dulunyakau bangunkan rumah-rumah Tuhan.
            Tanah mulai menimbunmu. Sekarang hanya amal ibadahlah dan untaian keimanan sebagai kompas dan penerang jalan untuk menjadi bekal di alam kuburmu. Alam mulai meniupkan angin dan langit mendung penanda turut berduka atas kembalinya engkau kembali kepangkuan Tuhan. Hujan gerimis mulai turun setelah pemakamanmu. Lautan rangkaian bunga mawar dan melati menimbun tanah pemakamanmu. Alam yang berduka tak kuasa menahan tangisnya. Orang-orang itu mulai meninggalkanmu sementara aku bersama hujan gerimis dan lantunan Surat Yasiin menemanimu di siang yang mendung ini.
***
            Hari tujuh belas bulan dua, empat puluh tahun yang lalu, itulah hari engkau masuk ke pondok pesantren. Kaulah yang menjadi bahan pembicaraan para ustadz dan santriwaktu itu. Mereka membicarakan tentang ayahmu yang merupakan ulama ternama di negeri ini. Mereka membicarakan tentang makna namamu yaitu Abid Ahmad Fairuz. Nama mulia yang diberikan oleh orang tuamu dengan harapan kelak kau menjadi ahli ibadah dan terpuji bagaikan permata. Mereka juga membicarakan tentang parasmu yang elok dengan kulit putih bersih mewarisi gen dari ibumu.
            Semua perbincangan-perbincangan itu tak berlangsung lama. Hal itu dikarenakan para ustadz merasa kecewa dengan segala perilakumu yang kurang terpuji. Bahkan para santri mulai menjauhimu karena jengah dengan kejahilan dan kebadunganmu.
            Sejak kedatanganmu, kau mengajak teman-teman untuk memberontak terhadap peraturan pondok pesantren yang kau anggap kolot. Bahkan aku sempat terheran-heran ketika kau dengan terus terang mengatakan bahwa panggilan suara adzan yang menurutkusyahdu dianggap membisingkan.     
Bahkan kamu sering melalaikan kewajiban menunaikan salat lima waktu. Aku yang menjadi ketua para santri senantiasa mengingatkanmu waktu itu.
“Dengan salat, kita akan selalu bertemu dengan Tuhan,” tegasku.“Walaupun sekedar bersujud di hadapan Tuhan, walau kita tidak akan melihat wajah teduh-Nya. Inna salaati wanusuuki wamayahyawa ma maati lillahirabbilalamin..”1Itulah perkataanku kepadamu waktu itu. Tanggapanmu begitu dingin. Kau seolah-olah mengabaikannya.
            Kau pernah membolos dari kegiatan pesantren dengan mengajak teman-teman nonton konser musik rock, merokok di  jalan, membuang mercon menyala di pesantren, hingga mengenal minum-minuman keras, bahkan terjerat belenggu narkoba.
            Kenakalan-kenakalanmu yang semakin menjadi membuat Pak Kyai marah besar padamu. Pak Kyai memanggil orang tuamu beberapa kali ke kantornya. Orang tuamu sangat marah padamu. Namun, kenakalanmu terus berulang dan berulang. Akhirnya pihak pondok pesantrenmengembalikanmu ke rumah saat kamu ditemukan sakaw1 di kamar mandi pondok pesantren.
            Kita berpisah sementara waktu. 
***
            Kau malaikat pilihan Tuhan yang dititipkan kepadaku. Kau malaikat yang terpuji bagai permata yang menemani kehidupan sehari-hariku. Aku selalu mengajarimu untuk selalu melakukan segala perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Tak ada yang salah denganmu. Kau dilahirkan dengan rahimku atas izin Allah. Kau selalu aku berikan makanan halal. Kau kuajari sholat, ibadah, mengaji, berdzikir, dan lain-lain. Apa yang salah? Tetapi kau membelot sebagai malaikat Tuhan menjadi pengikut bisikan iblis.
            Tentu aku selalu memerangi iblis-iblis yang membisikimu. Semua itu tak berlangsung lama, ketika ayahmu memaksa untuk menyekolahkanmu di sebuah pesantren di Magelang setemat dari SMP. Semua itu untuk mendidikmu memiliki budi pekerti yang lebih baik dan kembali menjadi malaikat kecilku.
“Tuhan tabahkanlah aku dalam mendidik malaikatmu. Karena walaupun aku melihat malaikat-Mu aku seperti bisa melihat wajah-Mu yang teduh,” doaku setiap malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.            Sampai pada akhirnya aku mengganti namamu menjadi Abdul Ariqin Halim. Harapanku adalah engkau menjadi “Hamba Allah yang berbudi baik dan lembut”.
Aku membuatkanmu bubur merah putih sebagai tasyukuranuntuk pergantian namamu. Sesuai dengan adat istiadat masyarakat Pekalongan. Kau selalu tanya apa maksud dari tasyukuran ini. Bubur ini memiliki banyak maksud, harapan, dan doa yang terkandung di dalamnya. Cara memasak bubur diaduk-aduk seiring berjalannya waktu dan detik yang menyimbolkan hidup selalu berputar.Bubur juga merupakan tanda kesederhanaan dalam berperilaku.
            Bubur putih yang gurih rasanya melambangkan bahwa kehidupan yang suci akan membuahkan balasan baik di akhirat nanti. Bubur merah yang manis rasanya melambangkan bahwa kita harus berani dan bijaksana akan membuahkan kehidupan yang manis dan bahagia. Wadah untuk bubur merah dan putih haruslah berbentuk lingkaran, agar semua filosofi dari kedua bubur tadi bisa bersatu padu dalam kehidupan sehari-hari yang membuat tasyakuran.
            Berbagai tatanan urutan telah kulakukan. Namun, kau selalu membelot dari ajaran-ajaranku. Memang kau bertingkah laku baik. Tapi itu hanya beberapa hari, atau sebagai pengecohku. Entah apa yang engkau pikirkan tapi bagaimanapun kau tetap malaikat pilihan Tuhan, yang terpilih untuk mendampingi aku semasa hidup. Tuhan, tabahkanlah aku dalam mendidik malaikat kecil-Mu karena walaupun aku hanya bisa melihat malaikat-Mu aku seperti bisa melihat wajah-Mu yang teduh. Doaku setiap malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Hari-hari semakin berlalu, kenakalanmu semakin menjadi-jadi, sejak kau di sekolahkan di pesantren.
            Entah apa yang berkecimpung dipikirkanmu, entah akupun tak tahu apa yang dibenakmu. Seharusnya arti dari namamu menuntun engkau menjadi berbudi pekerti yang baik. Kau semakin membelot dari ajaranku dan ajaran Tuhan. Aku selalu di panggil ke pesantren dan selalu mendengar teguran-teguran yang muncul dari mulut kyai pimpinan pesantren. Aku bingung harus berbuat apa. Apakah aku harus sabar atau bagaimana? Aku memang harus sabar untuk mendidikmu atas perintah Tuhan.
            Kau telah hijrah ke pesantren tapi tak membuatmu berubah. Kau telah ku ubah namamu tapi masih teguh dalam pendirianmu untuk selalu menjadi berandal. Sekarang kau tukang bolos dan menjadi pecandu narkoba? Aku hanya pasrah pada saat kau dikeluarkan dari pesantren. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Nenekmu, Kakekmu, Ayahmu, semuanya menganggap anak berandal tak tahu aturan.Akan tetapi, aku selalu menyangkal dan terus berdoa kepada Tuhan. “Tuhan berilah aku kesempatan untuk merawat malikatmu dan berilah aku kesabaran dan kasih sayangmu”

***
            Dua tahun telah berlalu sejak kau dikelurkan dari pesantren untuk menjalani rehabilitasi.  Sekarang satu-satunya harapan adalah mengganti namamu lagi. Berharap agar budi pekertimu berubah dan bisa menjadi lebih baik.
“Ayah untuk apa selalu mengganti namakulagi? Kalau Abid ya Abid saja,tidak usah ganti-ganti, ngrepotin aja dan malu-maluin tau?” gertakmu padaku.  Dengan paksa aku mengubah namamu menjadi Asyraf Rasyid Al Dzaky yang artinya pemimpin yang mendapat petunjuk dan cerdas. Memang aku memberi namamu yang bagus agar kau tak malu dengan teman-temanmu.
Suatu malam saat kami sedang menyenandungkan shalawat nabi. Aku mendengar kabar kalaukau diseret oleh warga ke aula kelurahan.
            “Hajar dia! Agar dia tau betapa susahnya orang mencari uang. Agar dia tidak melakukan kelakuan bejatnya lagi!” seru beberapa warga.
“Tenanglah! Kalian jangan main hakin sendiri. Biarkan Pak Lurah bertindak sebagai penengah,” cegah beberapa warga yang masih bersimpati pada keluargaku..
            “Kenapa? Kenapa anakku diseret secara tak terhormat kesini. Kenapa?” tanya istriku dengan suara gemetar.
“Rasyid telah mencuri uang shodaqah masjid dan makam. Ia tertangkap basah di masjid tadi bersama tiga anak lain kampung sebelah,” jawab seorang warga.
            Betapa malunya aku menerima kenyataan kalau anak yang kubesarkan dengan baik dan berpegang pada syariat-syariat agama berkembang menjadi liar dan sulit dikendalikan.  Hanya doa-doa  senantiasa kami panjatkan untukmu.
            “Ya Allah tolonglah hamba, kiranya anak hamba agar dibukakan pintu hatinya, dan teruslah bukakan pintu jalanmu untuk anakku bertaubat.”
Itulah lantuan doa yang kami lakukan untuk kau siang dan malam.
***
Akhirnya titik kesadaranmu datang juga. Ketika ibumu jatuh sakit karena terlalu sering tertekan bathinnya memikirkan kenakalan-kenakalanmu. Ibumu sering menuliskan namamu pada selembar kertas. Sering mengigau, hingga sakkaratul mautnya. Kau mulai tersadar, sedikit demi sedikit cahaya mulai memasuki lembah-lembah kehidupanmu yang kelam. Tapi itu semua telah terlambat. Malaikatmu telah meninggalkanmu menuju pangkuan Illahi Robbi. Kau hanya bisa meratapi ketika pusara2  ibumu mulai ditimbun tanah. Tanah sebagai pembatas kau dan malaikatmu yang menjadi saksi engkau telah bertaubat. Langit dan bumi telah bersaksi bahwa engkau telah diterangi cahaya Tuhan yang selama ini tidak menyinarimu.
            Tidak itu saja Tuhan menunjukan kebesaraNya. Ketika dalam perjalanan pulang dari pemakaman. Kau menginginkan aku menggantikan namamu yang diberikan ibu mudahulu.
“Ayah aku ingin nama yang dahulu ibu berikan kepadaku dahulu, aku yakin budi pekertiku akan lebih baik apabila namaku diganti dengan nama itu. Abid Ahmad Fairuz, ahli ibadah terpuji bagai permata. Itulah yang aku inginkan”.
            Tak lama ketika sudah diperingati tujuh hari atas meninggalnya ibumu, aku kembalikan namamu menjadi semula Abid Ahmad Fairuz, itulah namamu kelak kau akan kembali mewarisi jabatanku. Walau tak secepat orang membalikan telapak tangan. Aku yakin Tuhan akan membimbingmu ke jalan yang diridhoi-Nya.
***
            Aku bertemu kembali denganmu saat aku hadir di pemakaman ibumu. Setelah kejadian ibumu meninggal, kau berjanji akan bertaubat dan selalu berjalan di jalan yang diridhoi-Nya. Kau tekun beribadah dan mengikuti berbagai pengajian di mana-mana.
Pada suatu hari kau mengajakku untuk berkelanamengarungi pelosok daerah dan ingin menimba ilmu dari telaga-telaga ilmu bersama beberapa orang santri lainnya.
“Apakah engkau bersiap untuk berkelana bersama kami?” tanyamu.
            Sontak akau menjawab “Ya aku siap berkelana mengarungi pelosok daerah dan menimba ilmu dari telaga-telaga ilmu.”
Kau menjawabku dengan spontan, “ Bergabunglah maka Tuhan selalu bersama kita.”
 Kita mengunjungi pelosok-pelosok daerah demi menimba ilmu. Ketika sudah menyerap ilmunya, kita pergi ke kampung lain untuk kembali menggajarkanya. Sampai aku mengusulkan untuk membangunkan sebuah Masjid untuk keperluan beribadah di daerah yang terpelosok itu.
Kau ikhlas memberikan sebagian harta warisan dari orang tuamu untuk mendirikan rumah-rumah Tuhan di berbagai daerah yang kau singgahi.
            Daerah demi daerah kami lalui, dengan cara yang sama dan berulang kali kami lakukan. Aku hanya bisa bangga. Walaupun seluruh pekerjaan mulia yang mengerjakan engkau. Kau selalu saja rendah hati. Aku hanya bisa memberi pelajaran yang sedikit rupanya dibandingkan oleh guru yang lain. Hampir setengah pelosok Indonesia kami lalui, permulaan dari Pekalongan sampai dengan Sumatra Utara. Tapi engkau tak juga puas kau selalu mengajakku untuk berkelana menyampaikan petuah ke pelosok daerah yang belum terjamah.
            Sampai kau kembali jatuh sakit dan tak bisa melanjutkan berkelana. Akhirnya aku mengantarkanmu kembali ke Pekalongan. Setelah kau sembuh tak disangka, akupun yang selalu ikut  berkelana denganmu pun tak percaya. Banyak sekali yang ingin mengundangmu. Walau aku terpaut jumlah yang banyak, ada juga yang mengundangku untuk menjadi pembicara di majlis ta’limnya. Sekarang kau telah diangkat menjadi ulama’ besar. Para mentri, artis, caleg, DPR, pejabat, utusan pejabat, menemuimu untuk berkonsultasi masalah-maslahnya.
            Hingga kita kembali berpisah untuk sementara waktu.
***
“Kriiiingg.......”
 Telpon berdering. “Apa.... Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...3 kok bisa?” tanyaku bingung. “Entah aku sendiri tak tau, ia sehabis memberikan siraman qalbu di beberapa tempat dan masjid ia langsung sholat dan berdzikir. Setelah berdzikir di mihrab dia langsung bersujud dan tak bangun lagi, sampai pagi. Ketika kami bangunkan ternyata ia telah wafat” aku langsung bergegas ke rumahmu. Seharusnya kita mengisi pengajian akbar dikampung halaman kita. Saat ku datangi kerumahmu benar, kau telah mendahuluiku ke pangkuan Illahi Robbi. Semua orang datang dengan tujuan yang sama denganku. Kau terbujur damai dikeranda tempat kau terbujur. Jutaan air mata terjatuh dihadapanmu, turut berduka atas kepergianmu.
            Selamat tinggal sahabat. Semoga kau diterima disisinya. Semoga pertaubatanmu dahulu telah diampuni Sang Khaliq4. Selamat tinggal Abid, Halim, Rasyid semoga kami tetap bisa menuai buah dari petuah-petuahmu dari penerus-penerusmu. [*]
            Glosarium :
1)             :Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi Allah Tuhan sekalian alam.
2)             :Pekuburan.
3)            :Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada                             Allah jugalah kami kembali.

4)             : Sang pencipta.