Aku masih mengingatmu. Aku
masih terus mengenangmu dan terus mendoakanmu. Aku masih teringat masa-masa
kebersamaan kita sewaktu kita remaja. Beberapa waktu lalu, kita berjanji untuk mengadakan
pengajian akbar di kampung halaman kita.
Hari ini saat kudatangi
rumahmu, aku disambut dengan bendera kuning yang tertancap di pagar dan ribuan
orang berbaju hitam datang untuk menemuimu. Semua orang yang datang ini adalah
orang-orang yang pernah menuai buah dari semua petuah-petuah terpujimu. Mereka
yang datang juga orang-orang yang telah kau buatkan rumah-rumah Tuhan.
Kenapa engkau dipanggil oleh
Tuhan begitu cepat? Ini sebuah panggilan tetapi bukan panggilan untuk ke tanah
suci Mekkah. Akan tetapi untuk menemui-Nya atas izin Tuhan. Semua dapat
melihatmu diatas keranda. Kau terbujur damai tertidur disana. Semua orang
mengerumunimu sebelum kau dibalut kain kafan suci yang menemanimu di alam kubur
saat kau meninggalkan dunia yang fana ini.
Hari semakin siang, semakin banyak orang mulai
berdatangan untuk menemuimu. Dari menteri, pejabat, DPR, wartawan,
ustadz-ustadzah, artis, hingga sanak kerabat dan khalayak umum berdatangan. Saat
kau mulai diangkat, ribuan orang ikut mengusungmu menuju rumah Tuhan. Duka yang
menyelimuti ribuan orang ini seperti yang aku rasakan. Banyak orang yang
berdesakan ingin ikut memakamkanmu. Ketika kiswah keranda dibuka engkau
terlihat sangat suci dengan kain kafanmu dan bersiap untuk menemuni Tuhanmu
kembali. Orang-orang kembali mengerumunimu. Ada yang ingin menyentuhmu,
memfotomu, dan masih banyak lagi yang ingin dilakukan oleh manusia yang
dulunyakau bangunkan rumah-rumah Tuhan.
Tanah mulai menimbunmu. Sekarang hanya amal ibadahlah dan
untaian keimanan sebagai kompas dan penerang jalan untuk menjadi bekal di alam
kuburmu. Alam mulai meniupkan angin dan langit mendung penanda turut berduka
atas kembalinya engkau kembali kepangkuan Tuhan. Hujan gerimis mulai turun
setelah pemakamanmu. Lautan rangkaian bunga mawar dan melati menimbun tanah
pemakamanmu. Alam yang berduka tak kuasa menahan tangisnya. Orang-orang itu
mulai meninggalkanmu sementara aku bersama hujan gerimis dan lantunan Surat
Yasiin menemanimu di siang yang mendung ini.
***
Hari tujuh belas bulan dua, empat puluh tahun yang lalu,
itulah hari engkau masuk ke pondok pesantren. Kaulah yang menjadi bahan
pembicaraan para ustadz dan santriwaktu itu. Mereka membicarakan tentang ayahmu
yang merupakan ulama ternama di negeri ini. Mereka membicarakan tentang makna
namamu yaitu Abid Ahmad Fairuz. Nama
mulia yang diberikan oleh orang tuamu dengan harapan kelak kau menjadi ahli
ibadah dan terpuji bagaikan permata. Mereka juga membicarakan tentang parasmu
yang elok dengan kulit putih bersih mewarisi gen dari ibumu.
Semua perbincangan-perbincangan itu tak
berlangsung lama. Hal itu dikarenakan para ustadz merasa kecewa dengan segala
perilakumu yang kurang terpuji. Bahkan para santri mulai menjauhimu karena
jengah dengan kejahilan dan kebadunganmu.
Sejak kedatanganmu, kau mengajak teman-teman untuk
memberontak terhadap peraturan pondok pesantren yang kau anggap kolot. Bahkan
aku sempat terheran-heran ketika kau dengan terus terang mengatakan bahwa panggilan suara adzan yang menurutkusyahdu dianggap membisingkan.
Bahkan kamu sering melalaikan kewajiban menunaikan salat lima waktu. Aku
yang menjadi ketua para santri senantiasa mengingatkanmu waktu itu.
“Dengan salat, kita akan selalu bertemu dengan
Tuhan,” tegasku.“Walaupun
sekedar bersujud di hadapan Tuhan, walau kita tidak akan melihat wajah teduh-Nya. Inna
salaati wanusuuki wamayahyawa ma maati lillahirabbilalamin..”1Itulah
perkataanku kepadamu waktu itu. Tanggapanmu begitu dingin. Kau seolah-olah
mengabaikannya.
Kau pernah membolos dari kegiatan pesantren dengan
mengajak teman-teman nonton konser musik rock, merokok di jalan, membuang mercon menyala di pesantren,
hingga mengenal minum-minuman keras, bahkan terjerat belenggu narkoba.
Kenakalan-kenakalanmu yang semakin menjadi membuat Pak
Kyai marah besar padamu. Pak Kyai memanggil orang tuamu beberapa kali ke
kantornya. Orang tuamu sangat marah padamu. Namun, kenakalanmu terus berulang
dan berulang. Akhirnya pihak pondok pesantrenmengembalikanmu ke rumah saat kamu
ditemukan sakaw1 di kamar
mandi pondok pesantren.
Kita berpisah sementara waktu.
***
Kau malaikat pilihan Tuhan yang dititipkan kepadaku. Kau
malaikat yang terpuji bagai permata yang menemani kehidupan sehari-hariku. Aku
selalu mengajarimu untuk selalu melakukan segala perintah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya. Tak ada yang salah denganmu. Kau dilahirkan dengan
rahimku atas izin Allah. Kau selalu aku berikan makanan halal. Kau kuajari
sholat, ibadah, mengaji, berdzikir, dan lain-lain. Apa yang salah? Tetapi kau
membelot sebagai malaikat Tuhan menjadi pengikut bisikan iblis.
Tentu aku selalu memerangi iblis-iblis yang membisikimu.
Semua itu tak berlangsung lama, ketika ayahmu memaksa untuk menyekolahkanmu di
sebuah pesantren di Magelang setemat dari SMP. Semua itu untuk mendidikmu
memiliki budi pekerti yang lebih baik dan kembali menjadi malaikat kecilku.
“Tuhan tabahkanlah aku
dalam mendidik malaikatmu. Karena walaupun aku melihat malaikat-Mu aku seperti
bisa melihat wajah-Mu yang teduh,” doaku setiap malam kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang. Sampai
pada akhirnya aku mengganti namamu menjadi Abdul Ariqin Halim. Harapanku adalah
engkau menjadi “Hamba Allah yang berbudi baik dan lembut”.
Aku membuatkanmu bubur
merah putih sebagai tasyukuranuntuk pergantian namamu. Sesuai dengan adat
istiadat masyarakat Pekalongan. Kau selalu tanya apa maksud dari tasyukuran ini.
Bubur ini memiliki banyak maksud, harapan, dan doa yang terkandung di dalamnya.
Cara memasak bubur diaduk-aduk seiring berjalannya waktu dan detik yang menyimbolkan
hidup selalu berputar.Bubur juga merupakan tanda kesederhanaan dalam
berperilaku.
Bubur putih yang gurih rasanya melambangkan bahwa
kehidupan yang suci akan membuahkan balasan baik di akhirat nanti. Bubur merah
yang manis rasanya melambangkan bahwa kita harus berani dan bijaksana akan
membuahkan kehidupan yang manis dan bahagia. Wadah untuk bubur merah dan putih
haruslah berbentuk lingkaran, agar semua filosofi dari kedua bubur tadi bisa
bersatu padu dalam kehidupan sehari-hari yang membuat tasyakuran.
Berbagai tatanan urutan telah kulakukan. Namun, kau selalu
membelot dari ajaran-ajaranku. Memang kau bertingkah laku baik. Tapi itu hanya
beberapa hari, atau sebagai pengecohku. Entah apa yang engkau pikirkan tapi
bagaimanapun kau tetap malaikat pilihan Tuhan, yang terpilih untuk mendampingi
aku semasa hidup. Tuhan, tabahkanlah aku dalam mendidik malaikat kecil-Mu karena
walaupun aku hanya bisa melihat malaikat-Mu aku seperti bisa melihat wajah-Mu
yang teduh. Doaku setiap malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Hari-hari semakin berlalu, kenakalanmu semakin menjadi-jadi, sejak kau di
sekolahkan di pesantren.
Entah apa yang berkecimpung dipikirkanmu, entah akupun
tak tahu apa yang dibenakmu. Seharusnya arti dari namamu menuntun engkau
menjadi berbudi pekerti yang baik. Kau semakin membelot dari ajaranku dan
ajaran Tuhan. Aku selalu di panggil ke pesantren dan selalu mendengar teguran-teguran
yang muncul dari mulut kyai pimpinan pesantren. Aku bingung harus berbuat apa.
Apakah aku harus sabar atau bagaimana? Aku memang harus sabar untuk mendidikmu
atas perintah Tuhan.
Kau telah hijrah ke pesantren tapi tak membuatmu berubah.
Kau telah ku ubah namamu tapi masih teguh dalam pendirianmu untuk selalu
menjadi berandal. Sekarang kau tukang bolos dan menjadi pecandu narkoba? Aku
hanya pasrah pada saat kau dikeluarkan dari pesantren. Aku tak tahu harus
berbuat apa lagi. Nenekmu, Kakekmu, Ayahmu, semuanya menganggap anak berandal
tak tahu aturan.Akan tetapi, aku selalu menyangkal dan terus berdoa kepada Tuhan.
“Tuhan berilah aku kesempatan untuk merawat malikatmu dan berilah aku kesabaran
dan kasih sayangmu”
***
Dua tahun telah berlalu sejak kau dikelurkan dari
pesantren untuk menjalani rehabilitasi. Sekarang
satu-satunya harapan adalah mengganti namamu lagi. Berharap agar budi pekertimu
berubah dan bisa menjadi lebih baik.
“Ayah untuk apa selalu
mengganti namakulagi? Kalau Abid ya Abid saja,tidak usah ganti-ganti, ngrepotin
aja dan malu-maluin tau?” gertakmu padaku.
Dengan paksa aku mengubah namamu menjadi Asyraf Rasyid Al Dzaky yang
artinya pemimpin yang mendapat petunjuk dan cerdas. Memang aku memberi namamu
yang bagus agar kau tak malu dengan teman-temanmu.
Suatu malam saat kami
sedang menyenandungkan shalawat nabi. Aku mendengar kabar kalaukau diseret oleh
warga ke aula kelurahan.
“Hajar dia! Agar dia tau betapa susahnya orang mencari
uang. Agar dia tidak melakukan kelakuan bejatnya lagi!” seru beberapa warga.
“Tenanglah! Kalian jangan
main hakin sendiri. Biarkan Pak Lurah bertindak sebagai penengah,” cegah
beberapa warga yang masih bersimpati pada keluargaku..
“Kenapa? Kenapa anakku diseret secara tak terhormat
kesini. Kenapa?” tanya istriku dengan suara gemetar.
“Rasyid telah mencuri uang
shodaqah masjid dan makam. Ia tertangkap basah di masjid tadi bersama tiga anak
lain kampung sebelah,” jawab seorang warga.
Betapa malunya aku menerima kenyataan kalau anak yang
kubesarkan dengan baik dan berpegang pada syariat-syariat agama berkembang
menjadi liar dan sulit dikendalikan.
Hanya doa-doa senantiasa kami
panjatkan untukmu.
“Ya Allah tolonglah hamba, kiranya anak hamba agar
dibukakan pintu hatinya, dan teruslah bukakan pintu jalanmu untuk anakku
bertaubat.”
Itulah lantuan doa yang kami
lakukan untuk kau siang dan malam.
***
Akhirnya titik kesadaranmu
datang juga. Ketika ibumu jatuh sakit karena terlalu sering tertekan bathinnya
memikirkan kenakalan-kenakalanmu. Ibumu sering menuliskan namamu pada selembar
kertas. Sering mengigau, hingga sakkaratul mautnya. Kau mulai tersadar, sedikit
demi sedikit cahaya mulai memasuki lembah-lembah kehidupanmu yang kelam. Tapi
itu semua telah terlambat. Malaikatmu telah meninggalkanmu menuju pangkuan
Illahi Robbi. Kau hanya bisa meratapi ketika pusara2 ibumu mulai ditimbun tanah. Tanah sebagai pembatas kau dan malaikatmu yang
menjadi saksi engkau telah bertaubat. Langit dan bumi telah bersaksi bahwa
engkau telah diterangi cahaya Tuhan yang selama ini tidak menyinarimu.
Tidak itu saja Tuhan menunjukan kebesaraNya. Ketika dalam
perjalanan pulang dari pemakaman. Kau menginginkan aku menggantikan namamu yang
diberikan ibu mudahulu.
“Ayah aku ingin nama yang
dahulu ibu berikan kepadaku dahulu, aku yakin budi pekertiku akan lebih baik
apabila namaku diganti dengan nama itu. Abid Ahmad Fairuz, ahli ibadah terpuji
bagai permata. Itulah yang aku inginkan”.
Tak lama ketika sudah diperingati tujuh hari atas
meninggalnya ibumu, aku kembalikan namamu menjadi semula Abid Ahmad Fairuz,
itulah namamu kelak kau akan kembali mewarisi jabatanku. Walau tak secepat orang
membalikan telapak tangan. Aku yakin Tuhan akan membimbingmu ke jalan yang
diridhoi-Nya.
***
Aku bertemu kembali denganmu saat aku hadir di pemakaman
ibumu. Setelah kejadian ibumu meninggal, kau berjanji akan bertaubat dan selalu
berjalan di jalan yang diridhoi-Nya. Kau tekun beribadah dan mengikuti berbagai
pengajian di mana-mana.
Pada suatu hari kau
mengajakku untuk berkelanamengarungi pelosok daerah dan ingin menimba ilmu dari
telaga-telaga ilmu bersama beberapa orang santri lainnya.
“Apakah engkau bersiap
untuk berkelana bersama kami?” tanyamu.
Sontak akau menjawab “Ya aku siap berkelana mengarungi
pelosok daerah dan menimba ilmu dari telaga-telaga ilmu.”
Kau menjawabku dengan
spontan, “ Bergabunglah maka Tuhan selalu bersama kita.”
Kita mengunjungi pelosok-pelosok daerah demi
menimba ilmu. Ketika sudah menyerap ilmunya, kita pergi ke kampung lain untuk
kembali menggajarkanya. Sampai aku mengusulkan untuk membangunkan sebuah Masjid
untuk keperluan beribadah di daerah yang terpelosok itu.
Kau ikhlas memberikan
sebagian harta warisan dari orang tuamu untuk mendirikan rumah-rumah Tuhan di
berbagai daerah yang kau singgahi.
Daerah demi daerah kami lalui, dengan cara yang sama dan
berulang kali kami lakukan. Aku hanya bisa bangga. Walaupun seluruh pekerjaan
mulia yang mengerjakan engkau. Kau selalu saja rendah hati. Aku hanya bisa
memberi pelajaran yang sedikit rupanya dibandingkan oleh guru yang lain. Hampir
setengah pelosok Indonesia kami lalui, permulaan dari Pekalongan sampai dengan
Sumatra Utara. Tapi engkau tak juga puas kau selalu mengajakku untuk berkelana
menyampaikan petuah ke pelosok daerah yang belum terjamah.
Sampai kau kembali jatuh sakit dan tak bisa melanjutkan
berkelana. Akhirnya aku mengantarkanmu kembali ke Pekalongan. Setelah kau
sembuh tak disangka, akupun yang selalu ikut
berkelana denganmu pun tak percaya. Banyak sekali yang ingin
mengundangmu. Walau aku terpaut jumlah yang banyak, ada juga yang mengundangku
untuk menjadi pembicara di majlis ta’limnya. Sekarang kau telah diangkat
menjadi ulama’ besar. Para mentri, artis, caleg, DPR, pejabat, utusan pejabat,
menemuimu untuk berkonsultasi masalah-maslahnya.
Hingga kita kembali berpisah untuk sementara waktu.
***
“Kriiiingg.......”
Telpon berdering. “Apa.... Innalillahi wa
inna ilaihi rojiun...3 kok bisa?” tanyaku bingung. “Entah
aku sendiri tak tau, ia sehabis memberikan siraman qalbu di beberapa tempat dan
masjid ia langsung sholat dan berdzikir. Setelah berdzikir di mihrab dia
langsung bersujud dan tak bangun lagi, sampai pagi. Ketika kami bangunkan
ternyata ia telah wafat” aku langsung bergegas ke rumahmu. Seharusnya kita
mengisi pengajian akbar dikampung halaman kita. Saat ku datangi kerumahmu
benar, kau telah mendahuluiku ke pangkuan Illahi Robbi. Semua orang datang
dengan tujuan yang sama denganku. Kau terbujur damai dikeranda tempat kau
terbujur. Jutaan air mata terjatuh dihadapanmu, turut berduka atas kepergianmu.
Selamat tinggal sahabat. Semoga kau diterima disisinya.
Semoga pertaubatanmu dahulu telah diampuni Sang Khaliq4.
Selamat tinggal Abid, Halim, Rasyid semoga kami tetap bisa menuai buah dari
petuah-petuahmu dari penerus-penerusmu. [*]
Glosarium :
1) :Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi Allah Tuhan sekalian alam.
2) :Pekuburan.
3) :Sesungguhnya
kami adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada Allah jugalah kami kembali.