Rabu, 07 September 2016

Asal Usul Kelurahan Kertoharjo (Juara 2 Lomba Penuisan Asal Usul Kelurahan Pekalongan)

“Petuah Sang Batu”
(Kelurahan Kertoharjo, Kecamatan Pekalongan Selatan)
Oleh : Muhammad Addi Syirfan
            Mbah Raji terperangah. Kini di hadapanya terdapat keagungan dan kemukjizatan Tuhan. Di pedapuran bambu 1di pinggir Jembatan Merah dengan sungainya yang begitu jernih. Di antara bulir-bulir air yang menyatu itu terbawalah mukjizat Tuhan dalam bentuk kukusan2. Di dalamnya terdapat dua buah batu bercahaya yang berkilau seterang rembulan.
Ya benar-benar bercahaya. Entah dari mana asal batu itu. Akan tetapi, Mbah Raji yakin kedua batu itu adalah batu yang dimukjizatkan Tuhan kepadanya.  Dengan penuh keyakinan Mbah Raji mengambil kedua batu  bercahaya itu. Batu itu adalah sebenar-benarnya batu biasa. Batu itu bukan emas, perak, berlian, ataupun permata yang berkilauan. Namun, cahaya yang dipancarkannya sangat terang.
Mbah Raji merupakan lelaki tua sederhana. Kebetulan saja ia memiliki ilmu agama lebih daripada yang lain. Tahun 1948 tahun yang beremang hitam putih itu kini telah menjatuhkan takdir kepada Mbah Raji. Siapa sangka penemuan batu itu akan menjadi kisah legenda yang tidak terlupakan sepanjang hayat anak cucunya. Siapa sangka pula batu bercahaya itu ternyata berpetuah menjadi cikal bakal dua daerah yang berdampingan layaknya sepasang saudara kembar.  Batu itu ditemukan pada saat mentari meniti tingginya sang buana. Disitu Mbah Raji, bingung tak dapat dimengerti. Mengapa takdir itu diberikan sang Illahi Robbi?
Hari merambat malam. Mbah Raji tetap menyimpan batu itu di dalam kotak kayu. Ia bingung, entah ia akan menyeritakanya kepada siapa. Orang lain pasti akan tertawa jika mendengar kisah penemuan batu yang tidak masuk akal pikiran.
“Lebih baik kusimpan rahasia dan batu ini bersamaku,” kata  Mbah Raji.
Hari berganti hari. Malam ditelan siang. Siang ditelan malam. Keanehan pada batu itu akhirnya mulai muncul. Kotak kayu itu akhirnya retak dan pecah. Kedua batu tersebut membesar.
Subhanallah, Engkau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi, kata Mbah Raji dalam hati.
Hari demi hari batu itu semakin membesar. Dari hanya seukuran kepalan tangan hingga tiga kali lipatnya. Batu itu masih terus membesar. Saking besarnya batu itu harus diletakan di luar rumah karena ukuranya senantiasa bertambah besar.
***
Pada suatu malam terjadilah suatu keajaiban ketika serdadu Belanda mengacak-acak seisi kampung untuk menemukan para gerilyawan pribumi yang menjadi buronan mereka. Saat Magrib pun menjelang tiba-tiba batu itu mengeluarkan cahaya terang. Tidak beberapa lama keluarlah percikan api yang dahsyat menuju ke langit. Api itu berbentuk seperti kembang api yang menjulang ke langit. Sontak warga kampung kaget. Para serdadu Belanda itu pun terperangah takjub.  Mereka langsung menuju tempat asal percikan api  itu.
Jeda itulah yang menyebabkan para pemuda pejuang bisa meloloskan diri dari kejaran serdadu Belanda. Mereka yang bersembunyi di salah satu rumah warga segera meloloskan diri ke balik lebatnya pedapuran bambu, menyusuri sepanjang liku sungai, hingga berhasil bergabung kembali dengan pejuang-pejuang lainnya.
Adapun orang-orang yang berhasil menemukan sumber percikan api terheran-heran. Mereka tidak menyangka kalau yang mengeluarkan cahaya terang dan percikan api itu adalah dua buah batu besar di halaman rumah sederhananya.
“Subhanallah, Allah Akbar, Mbah Raji kau menemukan batu itu di mana?” tanya salah seorang warga.
“Aku menemukanya di pedapuran bambu Jembatan Merah. Awalnya memang batu itu berukuran sekepalan tangan tetapi lama-lama batu itu bertambah besar hingga menjadi sebesar ini,” jawab Mbah Raji.
“Subhanallah, kau adalah orang yang beruntung Mbah Raji.  Jika kami ingin menziarahinya apakah boleh?” kata salah satu pengunjung dari desa seberang. 
            “Boleh saja, asalkan tidak musyrik dan menyukutukan Allah SWT.
***
            Selang beberapa hari kemudian banyak orang  datang melihat batu itu. Bahkan pihak pemerintah Belanda yang waktu itu menjabat di bumi Pekalongan ikut tertarik dengan kehadiran dua batu besar yang bercahaya terang itu.
            Sejak ditemukannya dua batu bercahaya itu, serdadu-seradu Belanda itu mulai berhenti menangkapi warga desa yang dianggap berkomplot dengan gerilyawan-gerilyawan Pekalongan. Bahkan beberapa kali pertempuran di dekat Jembatan Merah, pejuang-pejuang Pekalongan selalu menang melawan serdadu Belanda.
            Lambat laun, orang-orang kampung yang awalnya hanya sekadar melihat batu itu, mulai menziarahinya. Mereka menganggap bahwa kedua batu itu batu keramat, batu yang berpetuah.  Ada yang hanya sekadar membacakan yasin, tahlil, atau hanya khusus memberikan bunga atau wewangian pada batu tersebut. Nama Mbah Raji pun kemudian terkenal oleh semua penduduk Pekalongan. Akan tetapi, di dalam hati kecil Mbah Raji ia menangis dan tersiksa.
            Ya Allah semoga mereka tidak menyekutukkan-Mu karena aku. Ya Rabbku Kau adalah penguasa alam dunia ini. Kau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi.
Hal yang ditakutkan Mbah Raji akhirnya terjadi. Mereka yang menziarahi batu itu semakin hari bertambah banyak. Mereka percaya bahwa batu itu dapat mengusir penjajah Belanda yang menjajah bumi Pekalongan waktu itu.
Entah mengapa, setiap kali Belanda mencoba untuk memasuki desa di sepanjang Jembatan Merah selalu merasa gentar. Setiap kali bertempur di sana, serdadu-serdadu itu seolah melawan pejuang-pejuang Pekalongan yang sangat tangguh. Bahkan kebal dengan peluru yang dimuntahkan dari moncong senapan serdadu Belanda. Keberadaan  batu itu seakan-akan  membangkitkan semangat juang pemuda-pemuda Pekalongan.
Pemerintah Belanda merasa geram karena kegagalan dan kekalahan telak yang dialami pihaknya. Padahal selama ini mereka jarang sekali gagal dengan misinya memusnahkan gerilyawan-gerilyawan yang mengancam kedaulatannya di bumi Pekalongan. Berdasarkan terawangan seorang ahli nujum yang dipercaya, akhirnya pemerintah Belanda mengutus pasukan terbaiknya untuk mengambil kedua batu bertuah itu.
Pihak pemerintah Belanda itu pun mulai percaya dengan kehebatan batu itu. Namun, ternyata niat itu gagal dilaksanakan karena ternyata ada salah satu pejabat pribumi yang terlebih dulu mengambil batu itu untuk pesugihan dirinya.
 Tengah malam  rumah Mbah Raji dikepung oleh segerombol pasukan. Pasukan itu datang atas perintah salah satu pejabat  pribumi yang berkuasa waktu itu. Pejabat itu menginginkan agar batu bertuah itu menjadi miliknya. Batu itu diambil dengan secara paksa dari rumah Mbah Raji. Bahkan penziarah yang datang pada hari itu diusir dan dibuat lari tunggang langgang.
            Sejak kehilangan batu bertuah itu suasana desa menjadi sunyi. Terlebih di rumah Mbah Raji yang biasanya ramai dikunjungi orang. Warga merasa berduka. Mereka seolah kehilangan semangat hidup dan semangat juang. Mereka kehilangan batu bertuah yang telah mereka anggap seperti jimat keramat yang akan memberikan keberuntungan-keberuntungan tiap harinya. Demikian halnya Mbah Raji pilu memikirkan batu tersebut.
            “Ya Rabbku, aku yakin pasti ada rencana terindah-Mu yang Kau karuniai kepadaku,” kata Mbah Raji sebelum tidurnya.
            Keajaiban kembali terjadi esok harinya. Kedua batu tersebut kembali ke tempatnya semula.  Konon, batu itu pindah sendiri. Batu itu kembali kepada pemiliknya, yaitu Mbah Raji.
Pihak  Belanda menjadi semakin geram. Mereka memerintahkan pasukan terbaiknya untuk kembali mengambil batu itu. Batu itu pun dibuang ke laut Pasir Kencana. Namun, keajaiban yang sama kembali terjadi. Batu itu kembali ketempatnya semula.  Pihak Belanda yang amat  murka akhirnya membuang batu itu terus menerus hingga tiga kali. Akan tetapi, batu itu tetap kembali. Lalu Belanda berusaha untuk memecahnya dan membuangnya ke lautan. Hasilnya sama, batu itu kembali dengan keadaan utuh tanpa lecet sedikitpun.
            Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal itu mengecilkan nyali serdadu Belanda. Orang-orang semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk mendoakan agar pejuang-pejuang pribumi dapat mengusir penjajah Belanda dari bumi Pekalongan. Rupa-rupanya mereka juga meminta keinginan-keinginan mereka dapat terkabul melalui batu itu.
Mbah Raji sedih dan takut orang-orang musyrik karena dirinya menemukan batu tersebut. Hingga akhirnya dengan seizin Allah, datanglah seorang wali yang berjihad di jalan Allah SWT .  Ketika ia datang,  ia langsung  berbicara di hadapan orang-orang
            “Wahai saudaraku janganlah engkau berpaling dari ajaran-ajaranNya dan jangan kau sekutukanlah Ia karena kau akan disiksa dengan siksaan yang amat sangat pedih.
            “Lalu apa hakmu untuk melarang kami?tanya salah satu peziarah.
            “Pada waktu Dzuhur tadi, saat aku hampir selesai salat. Tepatnya saat salam pertama menoleh ke kanan menghadap arah utara aku mendapatkan wahyu nama “Watu Joyo” dan saat salam kedua menorah ke kiri menghadap arah selatan aku mendapatkan wahyu kembali. Wahyu nama desa seberang “Wattussalam”.  Lalu aku langsung bergegas ke arah batu yang dijaga Mbah Raji untuk menanyakan asal keberadaannya.” Wali Suto menjelaskan.
            Lalu kemudian Wali Suto mempunyai usul untuk menamai batu keramat itu dengan nama Watu Joyo yang artinya batu kejayaan atau kesaktian. Daerah pinggir Jembatan Merah pun hingga ke selatan dan daerah sekitarnya agar dinamai Dusun Watu Joyo karena daerah tersebut belum diberikan nama dan dikenal dari kesaktian Watu Joyo yang telah dikenal masyarakat Pekalongan.
Waktu semilir berganti. Malam berganti malam. Siang berganti siang. Musim silih berganti. Dari hujan menjadi panas. Panas menjadi hujan. Orang yang telah meninggal diganti dengan kelahiran-kelahiran baru.
Atas kepemerintahan penguasa waktu itu, Dusun Watu Joyo semakin berkembang menjadi Desa Watu Joyo. Akan tetapi bukti sejarah Watu Joyo tersebut menghilang. Semenjak Mbah Raji meninggal dunia batu itu sudah tidak ada yang merawat.
Peziarah pun sudah mulai memudar. Akhirnya batu itu sepi tanpa pengunjung dan tak terawat. Lalu ada seorang penduduk yang sanggup merawat batu itu. Batu bertuah itu dirawat oleh seorang jenderal dari penduduk desa seberang. Dengan sistem pemerintah baru Desa Watu Joyo berubah nama menjadi Desa Kertoharjo.
Lalu sekitar tahun 1980-an Desa Kertoharjo yang semula menjadi wilayah Kabupaten Pekalongan berubah masuk menjadi wilayah Kota Pekalongan. Kemudian Desa Kertoharjo beralih nama kembali menjadi Kelurahan Kertoharjo.
Atas hasutan salah seorang warga, akhirnya para warga menggerebek rumah Jenderal Ning untuk mengambil prasasti Watu Joyo. Atas negosiasi yang cukup lama, akhirnya batu tersebut bisa kembali ke pangkuan ranah Kertoharjo, ranah di mana semua itu terjadi dan berkembang. Kini Watu Joyo telah menjadi milik Kelurahan Kertoharjo, dan tetap untuk Kelurahan Kertoharjo untuk selama-lamanya. [*]
            Glosarium :
  1. Pedapuran Bambu       : Kebun bambu atau serumpunan bambu yang teretak                                      dipinggir sungai.
  2. Kukusan                      : Tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya
  untuk menanak nasi.



Daftar Pustaka

“Arsip Kelurahan Kertoharjo” BKM Mandiri Kelurahan Kertoharjo
Wawancara dengan narasumber Bapak Kyai Yusron Ahmad (54) dokumen penulis
Wawancara dengan narasumber Bapak Tasirin (55) dokumen penulis
Wawancara dengan narasumber Koordinator BKM Mandiri Kelurahan Kertoharjo Bapak Mustaqim Atho’ (42) dokumen penulis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar