“Petuah Sang Batu”
(Kelurahan Kertoharjo,
Kecamatan Pekalongan Selatan)
Oleh : Muhammad Addi
Syirfan
Mbah
Raji terperangah. Kini di hadapanya terdapat keagungan dan kemukjizatan Tuhan.
Di pedapuran bambu 1di pinggir Jembatan Merah dengan
sungainya yang begitu jernih. Di antara bulir-bulir air yang menyatu itu
terbawalah mukjizat Tuhan dalam bentuk kukusan2. Di dalamnya
terdapat dua buah batu bercahaya yang berkilau seterang rembulan.
Ya benar-benar
bercahaya. Entah dari mana asal batu itu. Akan tetapi, Mbah Raji yakin kedua
batu itu adalah batu yang dimukjizatkan Tuhan kepadanya. Dengan penuh keyakinan Mbah Raji mengambil
kedua batu bercahaya itu. Batu itu
adalah sebenar-benarnya batu biasa. Batu itu bukan emas, perak, berlian,
ataupun permata yang berkilauan. Namun, cahaya yang dipancarkannya sangat
terang.
Mbah Raji merupakan
lelaki tua sederhana. Kebetulan saja ia memiliki ilmu agama lebih daripada yang
lain. Tahun 1948 tahun yang beremang hitam putih itu kini telah menjatuhkan
takdir kepada Mbah Raji. Siapa sangka penemuan batu itu akan menjadi kisah
legenda yang tidak terlupakan sepanjang hayat anak cucunya. Siapa sangka pula
batu bercahaya itu ternyata berpetuah menjadi cikal bakal dua daerah yang
berdampingan layaknya sepasang saudara kembar.
Batu itu ditemukan pada saat mentari meniti tingginya sang buana. Disitu
Mbah Raji, bingung tak dapat dimengerti. Mengapa takdir itu diberikan sang
Illahi Robbi?
Hari merambat
malam. Mbah Raji tetap menyimpan batu itu di dalam kotak kayu. Ia bingung,
entah ia akan menyeritakanya kepada siapa. Orang lain pasti akan tertawa jika
mendengar kisah penemuan batu yang tidak masuk akal pikiran.
“Lebih
baik kusimpan
rahasia dan batu ini bersamaku,” kata Mbah Raji.
Hari berganti
hari. Malam ditelan siang. Siang ditelan malam. Keanehan pada batu itu akhirnya
mulai muncul. Kotak kayu itu akhirnya retak dan pecah. Kedua batu tersebut
membesar.
“Subhanallah,
Engkau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi,” kata
Mbah Raji dalam hati.
Hari demi hari
batu itu semakin membesar. Dari hanya seukuran kepalan tangan hingga tiga kali
lipatnya. Batu itu masih terus membesar. Saking besarnya batu itu harus
diletakan di luar rumah karena ukuranya senantiasa bertambah besar.
***
Pada
suatu malam terjadilah suatu keajaiban ketika serdadu Belanda mengacak-acak
seisi kampung untuk menemukan para gerilyawan pribumi yang menjadi buronan
mereka. Saat Magrib pun menjelang tiba-tiba batu itu mengeluarkan cahaya terang. Tidak beberapa
lama keluarlah percikan api yang dahsyat menuju ke langit. Api itu berbentuk seperti kembang api yang
menjulang ke langit. Sontak warga kampung kaget. Para serdadu Belanda itu pun terperangah takjub. Mereka langsung menuju tempat asal percikan api itu.
Jeda
itulah yang menyebabkan para pemuda pejuang bisa meloloskan diri dari kejaran
serdadu Belanda. Mereka yang bersembunyi di salah satu rumah warga segera
meloloskan diri ke balik lebatnya pedapuran bambu, menyusuri sepanjang liku
sungai, hingga berhasil bergabung kembali dengan pejuang-pejuang lainnya.
Adapun
orang-orang yang berhasil menemukan sumber percikan api terheran-heran. Mereka
tidak menyangka kalau yang mengeluarkan cahaya terang dan percikan api itu
adalah dua buah batu besar di halaman rumah sederhananya.
“Subhanallah,
Allah Akbar, Mbah Raji kau menemukan batu itu di mana?” tanya salah seorang
warga.
“Aku menemukanya
di pedapuran bambu Jembatan Merah.
Awalnya memang
batu itu berukuran sekepalan tangan tetapi lama-lama
batu itu bertambah besar hingga menjadi
sebesar ini,” jawab Mbah Raji.
“Subhanallah, kau
adalah orang yang beruntung Mbah Raji. Jika
kami ingin menziarahinya apakah boleh?” kata salah satu pengunjung dari desa
seberang.
“Boleh
saja, asalkan tidak musyrik dan menyukutukan Allah SWT.”
***
Selang beberapa hari kemudian banyak orang
datang melihat
batu itu. Bahkan pihak pemerintah Belanda yang waktu itu menjabat di bumi
Pekalongan ikut tertarik dengan kehadiran dua batu besar yang bercahaya terang
itu.
Sejak ditemukannya dua batu
bercahaya itu, serdadu-seradu Belanda itu mulai berhenti menangkapi warga desa
yang dianggap berkomplot dengan gerilyawan-gerilyawan Pekalongan. Bahkan
beberapa kali pertempuran di dekat Jembatan Merah, pejuang-pejuang Pekalongan
selalu menang melawan serdadu Belanda.
Lambat laun, orang-orang kampung
yang awalnya hanya sekadar melihat batu itu, mulai menziarahinya. Mereka
menganggap bahwa kedua batu itu batu keramat, batu yang berpetuah. Ada yang hanya
sekadar membacakan yasin, tahlil, atau hanya khusus memberikan bunga atau
wewangian pada batu tersebut. Nama Mbah Raji pun kemudian terkenal oleh
semua penduduk Pekalongan. Akan tetapi, di dalam hati kecil Mbah
Raji ia menangis dan tersiksa.
Ya
Allah semoga mereka tidak menyekutukkan-Mu karena aku. Ya Rabbku Kau adalah
penguasa alam dunia ini. Kau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi.
Hal yang
ditakutkan Mbah Raji akhirnya terjadi. Mereka yang menziarahi batu itu semakin
hari bertambah banyak. Mereka percaya bahwa batu itu dapat mengusir penjajah Belanda yang menjajah bumi Pekalongan waktu itu.
Entah mengapa,
setiap kali Belanda mencoba untuk memasuki
desa di sepanjang Jembatan Merah selalu merasa gentar. Setiap kali bertempur di sana, serdadu-serdadu itu
seolah melawan pejuang-pejuang Pekalongan yang sangat tangguh. Bahkan kebal
dengan peluru yang dimuntahkan dari moncong senapan serdadu Belanda. Keberadaan
batu itu seakan-akan membangkitkan
semangat juang pemuda-pemuda Pekalongan.
Pemerintah
Belanda merasa
geram karena kegagalan dan kekalahan telak
yang dialami pihaknya. Padahal selama ini mereka jarang sekali gagal dengan
misinya memusnahkan gerilyawan-gerilyawan yang mengancam kedaulatannya di bumi
Pekalongan. Berdasarkan terawangan seorang ahli nujum yang dipercaya, akhirnya
pemerintah Belanda mengutus pasukan terbaiknya untuk mengambil kedua batu
bertuah itu.
Pihak
pemerintah Belanda itu pun mulai percaya dengan kehebatan batu itu. Namun,
ternyata niat itu gagal dilaksanakan karena ternyata ada salah satu pejabat
pribumi yang terlebih dulu mengambil batu itu untuk pesugihan dirinya.
Tengah
malam rumah Mbah Raji dikepung oleh segerombol
pasukan. Pasukan itu datang atas perintah salah satu pejabat pribumi yang
berkuasa waktu itu. Pejabat itu menginginkan agar batu
bertuah itu menjadi miliknya. Batu itu diambil dengan secara paksa dari rumah
Mbah Raji. Bahkan penziarah yang datang pada hari itu diusir dan dibuat lari
tunggang langgang.
Sejak kehilangan batu bertuah itu suasana desa menjadi
sunyi. Terlebih
di rumah Mbah Raji yang biasanya ramai dikunjungi orang. Warga merasa berduka.
Mereka seolah kehilangan semangat hidup dan semangat juang. Mereka kehilangan
batu bertuah yang telah mereka anggap seperti jimat keramat yang akan
memberikan keberuntungan-keberuntungan tiap harinya. Demikian halnya Mbah Raji
pilu memikirkan batu tersebut.
“Ya Rabbku, aku yakin pasti ada
rencana terindah-Mu yang Kau karuniai kepadaku,” kata Mbah Raji sebelum
tidurnya.
Keajaiban
kembali terjadi esok harinya.
Kedua batu tersebut kembali ke tempatnya
semula. Konon, batu itu pindah sendiri. Batu itu kembali kepada pemiliknya, yaitu Mbah Raji.
Pihak
Belanda menjadi semakin geram. Mereka memerintahkan pasukan terbaiknya untuk kembali
mengambil batu itu. Batu itu pun dibuang ke laut Pasir Kencana.
Namun, keajaiban yang sama kembali terjadi. Batu itu kembali ketempatnya
semula. Pihak Belanda
yang amat murka akhirnya membuang batu
itu terus menerus hingga tiga kali. Akan tetapi, batu itu tetap kembali. Lalu Belanda berusaha untuk
memecahnya dan membuangnya ke lautan.
Hasilnya sama, batu itu kembali dengan keadaan utuh tanpa lecet sedikitpun.
Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal itu mengecilkan
nyali serdadu Belanda. Orang-orang
semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru. Kedatangan mereka kali ini
tidak hanya untuk mendoakan agar pejuang-pejuang pribumi dapat mengusir
penjajah Belanda dari bumi Pekalongan. Rupa-rupanya mereka juga meminta
keinginan-keinginan mereka dapat terkabul melalui batu itu.
Mbah Raji sedih dan takut orang-orang musyrik
karena dirinya menemukan batu tersebut. Hingga akhirnya dengan seizin Allah,
datanglah seorang wali yang berjihad di jalan Allah SWT . Ketika ia datang, ia langsung berbicara di hadapan orang-orang.
“Wahai
saudaraku janganlah engkau berpaling dari ajaran-ajaranNya dan jangan kau
sekutukanlah Ia karena kau akan disiksa dengan siksaan yang amat sangat pedih.”
“Lalu
apa hakmu untuk melarang kami?”
tanya salah satu peziarah.
“Pada
waktu Dzuhur tadi, saat aku hampir selesai salat. Tepatnya saat salam pertama
menoleh ke kanan menghadap arah utara aku mendapatkan wahyu nama “Watu Joyo”
dan saat salam kedua menorah ke kiri menghadap arah selatan aku mendapatkan
wahyu kembali. Wahyu nama desa seberang “Wattussalam”. Lalu aku langsung bergegas ke arah batu yang dijaga
Mbah Raji untuk menanyakan asal keberadaannya.” Wali Suto menjelaskan.
Lalu
kemudian Wali Suto mempunyai usul untuk menamai batu keramat itu dengan nama
Watu Joyo yang artinya batu kejayaan atau kesaktian. Daerah pinggir Jembatan
Merah pun
hingga ke selatan
dan daerah sekitarnya agar dinamai Dusun Watu Joyo karena daerah tersebut belum
diberikan nama dan dikenal dari kesaktian Watu Joyo yang telah dikenal
masyarakat Pekalongan.
Waktu semilir
berganti. Malam berganti malam. Siang berganti siang. Musim silih berganti.
Dari hujan menjadi panas. Panas menjadi hujan. Orang yang telah meninggal
diganti dengan kelahiran-kelahiran baru.
Atas
kepemerintahan penguasa waktu itu,
Dusun Watu Joyo semakin berkembang menjadi Desa Watu Joyo. Akan tetapi bukti
sejarah Watu Joyo tersebut menghilang. Semenjak Mbah Raji meninggal dunia batu
itu sudah tidak ada yang merawat.
Peziarah pun sudah mulai memudar.
Akhirnya batu itu sepi tanpa pengunjung dan tak terawat. Lalu ada seorang
penduduk yang sanggup merawat batu itu. Batu
bertuah itu dirawat oleh seorang
jenderal dari penduduk desa seberang. Dengan sistem pemerintah baru Desa Watu
Joyo berubah nama menjadi Desa Kertoharjo.
Lalu sekitar tahun
1980-an Desa Kertoharjo yang semula menjadi wilayah Kabupaten Pekalongan
berubah masuk menjadi wilayah Kota Pekalongan. Kemudian Desa Kertoharjo beralih
nama kembali menjadi Kelurahan Kertoharjo.
Atas hasutan salah
seorang warga, akhirnya para warga menggerebek rumah Jenderal Ning untuk
mengambil prasasti Watu Joyo. Atas negosiasi yang cukup lama, akhirnya batu
tersebut bisa kembali ke pangkuan
ranah Kertoharjo, ranah di mana
semua itu terjadi dan berkembang. Kini Watu Joyo telah menjadi milik Kelurahan
Kertoharjo, dan tetap untuk Kelurahan Kertoharjo untuk selama-lamanya. [*]
Glosarium
:
- Pedapuran
Bambu : Kebun bambu atau
serumpunan bambu yang teretak dipinggir sungai.
- Kukusan : Tempat yang terbuat
dari anyaman bambu yang biasanya
untuk menanak nasi.
Daftar Pustaka
“Arsip Kelurahan Kertoharjo” BKM Mandiri Kelurahan
Kertoharjo
Wawancara dengan narasumber Bapak Kyai Yusron Ahmad (54)
dokumen penulis
Wawancara dengan narasumber Bapak Tasirin (55) dokumen
penulis
Wawancara dengan narasumber Koordinator BKM Mandiri
Kelurahan Kertoharjo Bapak Mustaqim Atho’ (42) dokumen penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar