Rabu, 07 September 2016

Asal Usul Kelurahan Kertoharjo (Juara 2 Lomba Penuisan Asal Usul Kelurahan Pekalongan)

“Petuah Sang Batu”
(Kelurahan Kertoharjo, Kecamatan Pekalongan Selatan)
Oleh : Muhammad Addi Syirfan
            Mbah Raji terperangah. Kini di hadapanya terdapat keagungan dan kemukjizatan Tuhan. Di pedapuran bambu 1di pinggir Jembatan Merah dengan sungainya yang begitu jernih. Di antara bulir-bulir air yang menyatu itu terbawalah mukjizat Tuhan dalam bentuk kukusan2. Di dalamnya terdapat dua buah batu bercahaya yang berkilau seterang rembulan.
Ya benar-benar bercahaya. Entah dari mana asal batu itu. Akan tetapi, Mbah Raji yakin kedua batu itu adalah batu yang dimukjizatkan Tuhan kepadanya.  Dengan penuh keyakinan Mbah Raji mengambil kedua batu  bercahaya itu. Batu itu adalah sebenar-benarnya batu biasa. Batu itu bukan emas, perak, berlian, ataupun permata yang berkilauan. Namun, cahaya yang dipancarkannya sangat terang.
Mbah Raji merupakan lelaki tua sederhana. Kebetulan saja ia memiliki ilmu agama lebih daripada yang lain. Tahun 1948 tahun yang beremang hitam putih itu kini telah menjatuhkan takdir kepada Mbah Raji. Siapa sangka penemuan batu itu akan menjadi kisah legenda yang tidak terlupakan sepanjang hayat anak cucunya. Siapa sangka pula batu bercahaya itu ternyata berpetuah menjadi cikal bakal dua daerah yang berdampingan layaknya sepasang saudara kembar.  Batu itu ditemukan pada saat mentari meniti tingginya sang buana. Disitu Mbah Raji, bingung tak dapat dimengerti. Mengapa takdir itu diberikan sang Illahi Robbi?
Hari merambat malam. Mbah Raji tetap menyimpan batu itu di dalam kotak kayu. Ia bingung, entah ia akan menyeritakanya kepada siapa. Orang lain pasti akan tertawa jika mendengar kisah penemuan batu yang tidak masuk akal pikiran.
“Lebih baik kusimpan rahasia dan batu ini bersamaku,” kata  Mbah Raji.
Hari berganti hari. Malam ditelan siang. Siang ditelan malam. Keanehan pada batu itu akhirnya mulai muncul. Kotak kayu itu akhirnya retak dan pecah. Kedua batu tersebut membesar.
Subhanallah, Engkau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi, kata Mbah Raji dalam hati.
Hari demi hari batu itu semakin membesar. Dari hanya seukuran kepalan tangan hingga tiga kali lipatnya. Batu itu masih terus membesar. Saking besarnya batu itu harus diletakan di luar rumah karena ukuranya senantiasa bertambah besar.
***
Pada suatu malam terjadilah suatu keajaiban ketika serdadu Belanda mengacak-acak seisi kampung untuk menemukan para gerilyawan pribumi yang menjadi buronan mereka. Saat Magrib pun menjelang tiba-tiba batu itu mengeluarkan cahaya terang. Tidak beberapa lama keluarlah percikan api yang dahsyat menuju ke langit. Api itu berbentuk seperti kembang api yang menjulang ke langit. Sontak warga kampung kaget. Para serdadu Belanda itu pun terperangah takjub.  Mereka langsung menuju tempat asal percikan api  itu.
Jeda itulah yang menyebabkan para pemuda pejuang bisa meloloskan diri dari kejaran serdadu Belanda. Mereka yang bersembunyi di salah satu rumah warga segera meloloskan diri ke balik lebatnya pedapuran bambu, menyusuri sepanjang liku sungai, hingga berhasil bergabung kembali dengan pejuang-pejuang lainnya.
Adapun orang-orang yang berhasil menemukan sumber percikan api terheran-heran. Mereka tidak menyangka kalau yang mengeluarkan cahaya terang dan percikan api itu adalah dua buah batu besar di halaman rumah sederhananya.
“Subhanallah, Allah Akbar, Mbah Raji kau menemukan batu itu di mana?” tanya salah seorang warga.
“Aku menemukanya di pedapuran bambu Jembatan Merah. Awalnya memang batu itu berukuran sekepalan tangan tetapi lama-lama batu itu bertambah besar hingga menjadi sebesar ini,” jawab Mbah Raji.
“Subhanallah, kau adalah orang yang beruntung Mbah Raji.  Jika kami ingin menziarahinya apakah boleh?” kata salah satu pengunjung dari desa seberang. 
            “Boleh saja, asalkan tidak musyrik dan menyukutukan Allah SWT.
***
            Selang beberapa hari kemudian banyak orang  datang melihat batu itu. Bahkan pihak pemerintah Belanda yang waktu itu menjabat di bumi Pekalongan ikut tertarik dengan kehadiran dua batu besar yang bercahaya terang itu.
            Sejak ditemukannya dua batu bercahaya itu, serdadu-seradu Belanda itu mulai berhenti menangkapi warga desa yang dianggap berkomplot dengan gerilyawan-gerilyawan Pekalongan. Bahkan beberapa kali pertempuran di dekat Jembatan Merah, pejuang-pejuang Pekalongan selalu menang melawan serdadu Belanda.
            Lambat laun, orang-orang kampung yang awalnya hanya sekadar melihat batu itu, mulai menziarahinya. Mereka menganggap bahwa kedua batu itu batu keramat, batu yang berpetuah.  Ada yang hanya sekadar membacakan yasin, tahlil, atau hanya khusus memberikan bunga atau wewangian pada batu tersebut. Nama Mbah Raji pun kemudian terkenal oleh semua penduduk Pekalongan. Akan tetapi, di dalam hati kecil Mbah Raji ia menangis dan tersiksa.
            Ya Allah semoga mereka tidak menyekutukkan-Mu karena aku. Ya Rabbku Kau adalah penguasa alam dunia ini. Kau pasti mempunyai rencana yang lebih baik lagi.
Hal yang ditakutkan Mbah Raji akhirnya terjadi. Mereka yang menziarahi batu itu semakin hari bertambah banyak. Mereka percaya bahwa batu itu dapat mengusir penjajah Belanda yang menjajah bumi Pekalongan waktu itu.
Entah mengapa, setiap kali Belanda mencoba untuk memasuki desa di sepanjang Jembatan Merah selalu merasa gentar. Setiap kali bertempur di sana, serdadu-serdadu itu seolah melawan pejuang-pejuang Pekalongan yang sangat tangguh. Bahkan kebal dengan peluru yang dimuntahkan dari moncong senapan serdadu Belanda. Keberadaan  batu itu seakan-akan  membangkitkan semangat juang pemuda-pemuda Pekalongan.
Pemerintah Belanda merasa geram karena kegagalan dan kekalahan telak yang dialami pihaknya. Padahal selama ini mereka jarang sekali gagal dengan misinya memusnahkan gerilyawan-gerilyawan yang mengancam kedaulatannya di bumi Pekalongan. Berdasarkan terawangan seorang ahli nujum yang dipercaya, akhirnya pemerintah Belanda mengutus pasukan terbaiknya untuk mengambil kedua batu bertuah itu.
Pihak pemerintah Belanda itu pun mulai percaya dengan kehebatan batu itu. Namun, ternyata niat itu gagal dilaksanakan karena ternyata ada salah satu pejabat pribumi yang terlebih dulu mengambil batu itu untuk pesugihan dirinya.
 Tengah malam  rumah Mbah Raji dikepung oleh segerombol pasukan. Pasukan itu datang atas perintah salah satu pejabat  pribumi yang berkuasa waktu itu. Pejabat itu menginginkan agar batu bertuah itu menjadi miliknya. Batu itu diambil dengan secara paksa dari rumah Mbah Raji. Bahkan penziarah yang datang pada hari itu diusir dan dibuat lari tunggang langgang.
            Sejak kehilangan batu bertuah itu suasana desa menjadi sunyi. Terlebih di rumah Mbah Raji yang biasanya ramai dikunjungi orang. Warga merasa berduka. Mereka seolah kehilangan semangat hidup dan semangat juang. Mereka kehilangan batu bertuah yang telah mereka anggap seperti jimat keramat yang akan memberikan keberuntungan-keberuntungan tiap harinya. Demikian halnya Mbah Raji pilu memikirkan batu tersebut.
            “Ya Rabbku, aku yakin pasti ada rencana terindah-Mu yang Kau karuniai kepadaku,” kata Mbah Raji sebelum tidurnya.
            Keajaiban kembali terjadi esok harinya. Kedua batu tersebut kembali ke tempatnya semula.  Konon, batu itu pindah sendiri. Batu itu kembali kepada pemiliknya, yaitu Mbah Raji.
Pihak  Belanda menjadi semakin geram. Mereka memerintahkan pasukan terbaiknya untuk kembali mengambil batu itu. Batu itu pun dibuang ke laut Pasir Kencana. Namun, keajaiban yang sama kembali terjadi. Batu itu kembali ketempatnya semula.  Pihak Belanda yang amat  murka akhirnya membuang batu itu terus menerus hingga tiga kali. Akan tetapi, batu itu tetap kembali. Lalu Belanda berusaha untuk memecahnya dan membuangnya ke lautan. Hasilnya sama, batu itu kembali dengan keadaan utuh tanpa lecet sedikitpun.
            Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal itu mengecilkan nyali serdadu Belanda. Orang-orang semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk mendoakan agar pejuang-pejuang pribumi dapat mengusir penjajah Belanda dari bumi Pekalongan. Rupa-rupanya mereka juga meminta keinginan-keinginan mereka dapat terkabul melalui batu itu.
Mbah Raji sedih dan takut orang-orang musyrik karena dirinya menemukan batu tersebut. Hingga akhirnya dengan seizin Allah, datanglah seorang wali yang berjihad di jalan Allah SWT .  Ketika ia datang,  ia langsung  berbicara di hadapan orang-orang
            “Wahai saudaraku janganlah engkau berpaling dari ajaran-ajaranNya dan jangan kau sekutukanlah Ia karena kau akan disiksa dengan siksaan yang amat sangat pedih.
            “Lalu apa hakmu untuk melarang kami?tanya salah satu peziarah.
            “Pada waktu Dzuhur tadi, saat aku hampir selesai salat. Tepatnya saat salam pertama menoleh ke kanan menghadap arah utara aku mendapatkan wahyu nama “Watu Joyo” dan saat salam kedua menorah ke kiri menghadap arah selatan aku mendapatkan wahyu kembali. Wahyu nama desa seberang “Wattussalam”.  Lalu aku langsung bergegas ke arah batu yang dijaga Mbah Raji untuk menanyakan asal keberadaannya.” Wali Suto menjelaskan.
            Lalu kemudian Wali Suto mempunyai usul untuk menamai batu keramat itu dengan nama Watu Joyo yang artinya batu kejayaan atau kesaktian. Daerah pinggir Jembatan Merah pun hingga ke selatan dan daerah sekitarnya agar dinamai Dusun Watu Joyo karena daerah tersebut belum diberikan nama dan dikenal dari kesaktian Watu Joyo yang telah dikenal masyarakat Pekalongan.
Waktu semilir berganti. Malam berganti malam. Siang berganti siang. Musim silih berganti. Dari hujan menjadi panas. Panas menjadi hujan. Orang yang telah meninggal diganti dengan kelahiran-kelahiran baru.
Atas kepemerintahan penguasa waktu itu, Dusun Watu Joyo semakin berkembang menjadi Desa Watu Joyo. Akan tetapi bukti sejarah Watu Joyo tersebut menghilang. Semenjak Mbah Raji meninggal dunia batu itu sudah tidak ada yang merawat.
Peziarah pun sudah mulai memudar. Akhirnya batu itu sepi tanpa pengunjung dan tak terawat. Lalu ada seorang penduduk yang sanggup merawat batu itu. Batu bertuah itu dirawat oleh seorang jenderal dari penduduk desa seberang. Dengan sistem pemerintah baru Desa Watu Joyo berubah nama menjadi Desa Kertoharjo.
Lalu sekitar tahun 1980-an Desa Kertoharjo yang semula menjadi wilayah Kabupaten Pekalongan berubah masuk menjadi wilayah Kota Pekalongan. Kemudian Desa Kertoharjo beralih nama kembali menjadi Kelurahan Kertoharjo.
Atas hasutan salah seorang warga, akhirnya para warga menggerebek rumah Jenderal Ning untuk mengambil prasasti Watu Joyo. Atas negosiasi yang cukup lama, akhirnya batu tersebut bisa kembali ke pangkuan ranah Kertoharjo, ranah di mana semua itu terjadi dan berkembang. Kini Watu Joyo telah menjadi milik Kelurahan Kertoharjo, dan tetap untuk Kelurahan Kertoharjo untuk selama-lamanya. [*]
            Glosarium :
  1. Pedapuran Bambu       : Kebun bambu atau serumpunan bambu yang teretak                                      dipinggir sungai.
  2. Kukusan                      : Tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya
  untuk menanak nasi.



Daftar Pustaka

“Arsip Kelurahan Kertoharjo” BKM Mandiri Kelurahan Kertoharjo
Wawancara dengan narasumber Bapak Kyai Yusron Ahmad (54) dokumen penulis
Wawancara dengan narasumber Bapak Tasirin (55) dokumen penulis
Wawancara dengan narasumber Koordinator BKM Mandiri Kelurahan Kertoharjo Bapak Mustaqim Atho’ (42) dokumen penulis.



Kamis, 06 Agustus 2015

Bidadari Pemanggil Salju Karya M. Addi Syirfan


            Salju itu kian turun. Salju itu kembali turun, menghiasi langit penuh najam. Salju itu turun kawan, hanya setahun sekali. Ya benar, satu tahun sekali dalam malam yang sepi ini. Sepi dalam lelapnya malam mereka. Saat aku terbangun ditengah dentuman malam, malam yang penuh salju itu kembali datang. Entah mengapa, aku saja yang dapat melihatnya. Salju itu menutupi pemukiman warga dengan warna putih bersihnya. Sedangkan mereka hanya berkata “Tidak, tidak mungkin ada salju di negeri mentari”. Mereka hanya mengira semalam telah hujan. Akan tetapi, air itu bukan air hujan. Air itu merupakan lelehan dari kristal salju ajaib itu.
Mereka tak melihat indahnya salju itu, karena mentari memusnahkanya di waktu pagi.  Salju itu mencair, memberikan kehidupan yang sesungguhnya di bumi ini. Air dari salju kehidupann itu mengalir, membasahi rumput, rumah warga, yang akan memberikan kehidupan yang mereka inginkan bagi yang menyentuhnya. 
            Salju itu kembali turun di malam ini, malam kelahiranku.
***
            Malam itu malam salju. Malam-malam yang hening dengan tingkah laku hewan malam. Ditengah gending malam yang syahdu. Merdu merayu. Hasna muncul dari benteng pelindung. Benteng pelindung dari kemaksiatan. Selendang penghablur dosa dan maksiat. Dia keluar, dengan polesan cantik menawan.
            Dibalik itu, salju turun. Salju yang kuimpikan dalam hidupku. Malam maupun siang, salju itu siap turun. Memberkahi apa saja yang ada di bumi. Setiap salju itu turun lalu mencair membasahi bumi, air itu akan memberi arti kehidupan sesungguhnya di bumi. Aku ingin menjadi Hasna, menjadi orang mulia, menjadi orang suci yang berhak menurunkan salju. Persembahan dan tarian suci dipersembahkan untuk menurunkan keberkahan di bumi.
Aku ingin menjadi mereka. Aku ingin menjadi Hasna. Aku ingin, sungguh ingin membahagiakan orang-orang. Dengan salju keberkahan itu, orang-orang yang hidup di bumi Pekalongan ini akan menjadi senang dan tenang melawan jahatnya dunia peradaban dan gemerlapnya zaman. Akan tetapi, mereka tak menanggapiku. Mereka menanggapinya dengan dingin. Mereka membelakangiku soal ini. Aku ingin menjadi mereka sungguh ingin.
***
Kau hari-hari ini hanya terpaku diam. Hari-hari ini kau sering terpaku diam di teras rumah. Senyap dibuatnya, dedaunan dan angin mendengarkan dengan khusu’ apa yang diucapakan Rani kepadanya. “Kau ingin tahu? Salju itu akan turun kembali malam ini. Tenang saja, setelah malam ini semua akan baik-baik saja. Karena salju itu turun untuk memberi kebahagian” itulah perkataanmu. “Salju? Salju di negeri mentari ini? Tidak, tidak mungkin ada salju anakku, ini dinegeri mentari tak kan pernah ada salju turun disini”
Lalu kau berkata “Salju itu tak terlihat, hanya aku yang melihatnya. Salju itu benar-benar turun ibu, salju itu benar-benar turun” lalu aku tersenyum menghadapi tingkah laku kekanak-kanakanmu. Lalu kau berkata “Ibu, apakah aku bisa menjadi seperti Hasna? Menjadi orang suci pemanggil salju itu agar turun ke bumi?” lalu aku paham akan maksud perkataanmu.
“Ya, kau bisa menjadi bidadari pemanggil salju, kau bisa menjadi orang suci untuk memanggil salju itu. Kau sempurna anakku, kau sangat layak untuk menjadi bidadari pemanggil salju “ Akan tetapi, tersimpan nestapa dalam hati ini. Walaupun kau ingin menjadi bidadari sintren yang kau maksud, mereka akan menolakmu karena keadaan daksa dan sukmamu berbeda dengan yang lain. Kau mempunyai keistimewaan. Kau memiliki kelebihan dari yang lain dan ada yang kurangan dari lain.            
Tuhan, berikanlah anak hamba kesembuhan akan penyakitnya. Tuhan, kabulkanlah semua doanya. Hanya kepada-Mu lah kami berdoa dan mengharapkan panduan-Mu. Amin. Doaku yang setiap malam kulantunkan demi kau Rani.
***
Entah mengapa, salju itu tak kembali turun pada malam ini. Salju itu tak kembali turun untuk memberikan kehidupan sesungguhnya dibumi.  Malam-malam penuh salju itu seakan musnah dan tiada. Malam penuh keajaiban yang hanya disaksikan Tuhan, aku, malam, dan hewan-hewan malam itu lenyap. Hanya aku yang kebingungan, mencari salju itu pergi.
Apabila salju itu pergi, maka lenyaplah kebahagiaan dibumi. Salju itu pasti marah karena Hasna pergi meninggalkan janabijana1 yang tercinta ini. Setelah Hasna pergi, tak ada lagi kebahagiaan disini. Salju tak kemabali turun. Salju tak kembali turun di langit ini, walaupun itu malam ulang tahunku.

Mengapa kau tak kembali salju?
            Mengapa kau tak kembali datang menjadi lentera bagi hidupku
            Mengapa kau tak turun
            Menghiasi malam
            Yang temaram
            Dengan hamburan najam2
                                    Apakah engkau marah?
                                    Karena kita tak mempercayaimu
                                    Semua itu semu
                                    Wahai salju !
                                    Mereka tak paham wahai salju !
                                    Mereka tak mau lagi menganggapmu
            Lambat laun
            Mereka meninggalkan
            Arti dan asal muasal kehidupan
            Meninggalkan kesedihan, kemelaratan,
            Dan kepedihan hidup.

***
“Ibu aku ingin menjadi pemangil salju! Aku ingin menjadi bidadari pemanggil salju! Aku ingin tampil malam ini, malam ini!” titahmu.
“Tapi, kau kan..”
“Aku tidak mahu tahu, aku tak mau tahu”
“Tapi kenapa?”
“Setelah Hasna pergi, salju tak pernah turun. Mereka tak mau lagi menurunkan salju. Mereka takut dihina karena itu semua. Walaupun mereka ingin menghinaku, maka tak apa-apa. Aku akan tetap memanggil bidadari”
Setelah itu aku dibawa ke Nyai Saraswati, untuk menjalani ritual perubahan menjadi seorang bidadari. “Apakah kau tak takut akan dihina teman-temanmu?” kata Nyi Saraswati.
Lalu aku jawab dengan tegas “Aku tetap akan memanggil salju!”. Lalu Nyai Saraswati menggeleng-geleng dan tersenyum.
“Kalau kau telah mantap, kau harus berpuasa selama satu hari dan menjaga  kesucianmu” kata Nyai Saraswati.
“Ya akan aku patuhi syarat itu”
***
Sang bagaskara mulai muncul dari peraduan. Bagaskara mulai menyinari langit yang hampa. Namun, kata-kata hinaan yang diperkirakan Nyai Saraswati datang terlalu cepat sebelum kami siap.
“Kau ingin tahu? Anak penerus Hasna itu adalah seorang yang memiliki kelainan pikiran! Anak itu temperamental! Anak itu hanya bisa berbicara kepada daun, angin, hewan dan lainnya,” bisik-bisik itu mulai terdengar sampai ke telinga anakku sendiri, Rani.
“Ibu, benarkah kata mereka?”
“Tidak, sungguh tidak benar”
Namun, hati kecil Rani terguncang. Terjadi guncangan hebat dalam hati dan pikiranya. Apabila aku menghentikan langkahnya, maka hati dan pikiran Rani akan semakin terguncang. Aku hanya mengikuti Rani, tetap akan menjalankan ritual atau tidak. Aku tahu, Rani sedang diguncang oleh pilihan yang sulit dipecahkan olehnya. Bahkan orang normalpun belum bisa memecahkanya.
Tak terasa air mata Rani meleleh, menghadapi pilihan yang sulit ini. “Untuk apa aku korbankan martabat keluargaku untuk menjadi bidadari pemanggil bidadari? Padahal mereka yang paling membutuhkannya malah meninggalkanya” kata Rani lirih di sela isak tangisnya. “Tidak apa-apa, ibu tak malu mempunyai anak sepertimu. Ibu tak malu”
Seketika Rani terdiam. Menemani bagaskara menyampai puncak tertinggi.
***
Malam pemanggilan saljupun tiba. Aku tidak bisa berkata-kata. Malam ini adalah penentuan dan akhir dari martabat tertinggi keluargaku.”. Genderang dan tembang-tembang dilantunkan. Pedupaan mulai dinyalakan. Bunga tujuh rupa mulai dipersembahkan. Upacara pemanggilan salju ini siap dilaksanakan. Sedangkan aku masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan. Detik demi detik menjelang upacara pemanggilan semakin mendekat. Kini hanya waktu yang menentukan. Tiba-tiba genderang musik pengawal dibunyikan.
Tambak tambak pawon
Isine dandang kukusan
Ari-ari kebul
Wong nontone pada kumpul
Tiba-tiba aku dituntun untuk ke panggung pemanggilan salju. Gendering terus dimainkan, asap-asap pedupaan telah mengepul dipanggung dan halaman, aku melangkah dan terus melangkah, hujan bunga menjatuhiku. Detikku telah sampai, dua pilihan antara martabat dan penyalamatan saljupun telah pudar.
Tuhan, tolonglah hamba-Mu dalam keadaan sempit seperti ini. Jeritku lirih.
***
Kau adalah wanita pilihanku. Kau tak seperti Hasna, kau tak seperti yang lain yang hanya mengincar harta dan kekuasaan. Tak ada gadis yang tulus sepertimu. Sekarang kau hanya menjalankan upacara ini. Kau hanya bisa percaya padaku. Mungkin aku juga salah mengijinkanmu untuk mengikuti ini. Akan tetapi hatimu tulus, suci dan bersih. Sekarang kau diikat, pasrah akan keadaan. Aku tahu, dibalik itu hatimu menangis akan pilihanmu itu. Gending dibunyikan upacarapun dimulai
Kembang trate
Dituku sebrang kana
Kartni dirante
Kang rante mang rana
***
            Saat kau dimasukkan dalam benteng pelepas jiwa, hati ibumu ini terasa hampa. Sekarang jiwa anakku akan hilang. Walaupun sebentar, tapi itu sangat berarti. Gending kembali bernyanyi. Mantra-mantra dirapalkan. Bunga-bunga ditaburkan pada bentengmu itu. Pedupaan kembali dinyalakan. Seketika para sinden kesurupan. Lantas hanya ada pada Nyai Saraswati kunci mulai dari upacara bidadari ini. Tiba-tiba, dengan bunga ditangan dan pedupaan, tembang mantra kembali dirapalkan.
            Gulung-gulug kasa
            Ana sintren tasih turu
            Wong nontone buru-buru
            Ana sintren tasih baru .
Lalu, para sinden menyambung dengan tembangnya
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan
            Kang manjing ning awak ira
            Turun-turun sintren, sintrene widadari
            Nemu kembang yun-ayunan
            Nemu kembang yun-ayunan
            Kembang si jaya indra
            Widodari temurunan

Seketika salju itu sedikit demi sedikit turun. Salju itu kembali mengguyur perkampungan. Dan salju itu juga turun dan masuk dalam benteng Rani. Benteng berdetak kencang. Rani keluar dengan cantik menawan. Salju sebagai penjelmaan Dewi Sulasih merasuki Rani. Sedangkan salju yang lain adalah penjelmaan malaikat dan bidadari untuk memberikan kebaikan di bumi.
Kau menari dan terus menari. Kau kini menjadi seorang sintren yang sempurna. kau dengan gemulai tarianmu menyambut salju dan sang kirana menyambangi kami.[*]

Pekalongan, 26-27 Mei 2015 M.

                1 Janabijana    : Tanah Kelahiran
            2 Najam           :  Bintang


Rabu, 27 Mei 2015

Penerus Karya Negeri Karya M. Addi Syirfan

Angin menyisiri pagi
Cahaya surya memancari bumi
Riuh gemriuh mulai menggema di Banjarsari

            Di awal sampai akhir hari
            Dari ufuk paksina sampai daksina
            Di sinilah kami
            Berdiri sendiri
            Tak ada yang menemani

Diantara hiruk-pikuk Banjarsari
Diawal sambatan mentari
Berdirilah kami
Penjaga warisan negeri

            Warisan negeri yang telah pupus
            Di serbu angin yang menghembus
            Tertinggal diantara zaman
            Tertinggal dengan gemerlapnya dunia peradaban

Dari cacahan nangka muda
Terciptalah bukir sejarah negeri
Semua itu tercipta sepi
Dari lelono
Menjadi majnan, maghnon
Dan terciptalah megono

            Semua itu musnah
            Tertinggal oleh waktu

Semua itu bagaikan lagu
Hanya sebentar kemudian berlalu

            Semua itu kian musnah
            Hari demi hari
            Hanya meninggalkan pilu
            Di hati

Kini megono hampir punah
Kini megono hampir musnah
Kami hanya generasi penerus negeri.

Megono bagaikan mentari
Hanya muncul pergi
Tanpa arti
Bagi manusia tak berhati

Hamburger, pizza, hotdog, kebab, steak, fried chicken
Semua tak berhenti
Menjelajahi negeri

            “Nak inilah megono sebagai jati diri
            Ranah Pekalongan ini
            Nak ingatlah semua ini
            Hanya tercipta dari megono

Kau ingin tahu mengapa
Megono perlu dijaga?

            Megono berdasrakan cacahan nangka muda
            Melambngkan para generasi muda
            Generasi muda yang serba bisa
            Seperti buah nangka

Kau ingin tahu mengapa nangka itu harus dicacah?
Karena generasi muda yang berbudi luhur harus berjumlah banyak
Karena generasi muda
Harus mempunyai budi pekerti luhur yang melimpah

            Kau ingin tahu mengapa cacahan itu dicampur kelapa?
            Karena generasi muda harus
            Tahan akan godaan dan teguh pendirian
            Seperti pohon kelapa

Sejarah ini tak akan terjadi
Tanpa megono ini

            Kau ingin tahu ?
            Seluruh kota ini tak berarti
            Tanpa megono
            Megono merupakan jati diri kita
Megono ini adalah simbol kejayaan Pekalongan
Megono ini merupakan arti dari setiap nafas Pekalongan

Kita  hanya bisa menyimpan nestapa
Menatap  penerus negeri
Kini telah berdiri
Tiada arti.

Catatan Kaki :
  1. Paksina            : Utara
  2. Daksina           : Selatan